Kemarin, Rabu (7/6/17) penyidik POLRI dan Kejaksaan menggelar perkara kasus chat mesum yag melibatkan tersangka Rizieq Shihab (RS) dan Firza Husein (FH). Gelar perkara dilakukan atas perkara FH yang telah dilimpahkan penyidik POLRI ke Kejaksaaan. Namun setelah melakukan penelitian secara seksama, pihak jaksa peneliti menilai bahwa berkas perkara dengan tersangka FH belum lengkap. Dengan demikian, pihak kejaksaan harus mengembalikan berkas perkara tersangka FH kepada penyidik untuk dilengkapi kembali. Dengan kata lain, berkas perkara chat mesum dengan tersangka FH belum P21 alias masih P19.
Berdasarkan hasil gelar perkara tersebut sehingga pihak FH melalui penasehat hukum (PH)-nya meminta agar kasus chat mesum itu dihentikan (kompas.com). Alasannya karena perkara yang diajukan tersebut belum memenuhi unsur pidana mengingat bukti yang diajukan POLRI melalui berkas perkara yang disampaikan oleh kejaksaan masih dianggap belum lengkap.
Ketidaklengkapan berkas yang diajukan POLRI itu oleh pihak FH dianggap sebagai indikasi bahwa kasus chat mesum tersebut terlalu dipaksakan dan sejak awal tidak layak dilanjutkan. Karena itu bagi PH tersangka, langkah yang paling tepat harus dilakukan penyidik adalah menghentikan proses hukum kasus chat mesum itu.
Pengembalian berkas perkara FH ke penyidik POLRI oleh jaksa peneliti memberikan 'amunisi' baru bagi RS dan kelompoknya untuk menyerang POLRI. Bagi mereka pengembalian berkas itu membuktikan bahwa kasus chat mesum yang dicoba-konstruksikan untuk menjerat RS merupakan sebuah upaya rekayasa dan kriminalisasi ulama yang bertujuan sebagai pembunuhan karakter (character assasanation) sang imam besar.
RS yang telah dipersonifikasi sebagai orang suci, pada hakekatnya telah dinistakan dengan sengaja oleh pihak penegak hukum, dalam hal ini POLRI dengan tujuan membunuh karakter sang imam besar. Berkas perkara FH yang dikembalikan jaksa peneliti memperkuat dugaan awal mereka bahwa badai yang sedang terjadi menimpa sang imam besar, adalah sebuah rekayasa politik dan kriminalisasi terhadap ulama untuk menghentikan sekaligus mematikan gerak langkah RS.
Bagi PH dan pengikut imam besar, satu-satunya cara yang dapat dilakukan sebuah rezim untuk menghentikan tingkah pola 'tak lazim' RS adalah mencoba membangun opini melalui sebuah 'rekayasa' kasus yang berkait langsung dengan integritas sang imam. Dalam persepsi dan asumsi mereka, apa yang disebut chat mesum itu merupakan sebuah dagelan yang tidak lucu. Bahkan kasus chat mesum bagi pengikut sang imam besar merupakan sebuah kasus yang terlalu remeh temeh, tidak bonafit, tidak wah, dan berbagai kesan 'rendah' lainnya, di mana hal itu semata-mata bertujuan membunuh karakter sang imam besar.
Kesan ini timbul ketika mereka mencoba membandingkan kasus RS dengan kasus yang menjerat mantan Ketua KPK, Abraham Samad (AS). Bagi mereka, apa yang terjadi pada AS merupakan sebuah 'rekayasa' mengingat kasus yang dituduhkan kepada AS belakangan dihentikan karena penyidik dinilai tidak mempunyai bukti yang otentik dan cukup kuat. Padahal bila diikuti secara seksama penghentian kasus yang melibatkan AS merupakan hal yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi terkait kasus chat mesum yang melibatkan RS dan FH ini.
Kasus mantan pimpinan KPK, AS termasuk juga yang menjerat Bambang Wijoyanto (BW), dihentikan lebih karena pertimbangan kemaslahatan umum. Atas nama kepentingan umum, kemudian pihak Kejaksaan memutuskan untuk melakukan deponering. Jadi penghentian perkara mantan pimpinan KPK, AS dan BW oleh Kejaksaan bukan karena penyidik mengalami kesulitan mendapatkan alat bukti yang cukup, melainkan faktor ketertiban dan keamanan serta kepentingan umum yang dikedepankan.
Dalam sebuah tulisan saya tentang (lihat : Integritas RS), seorang kompasianer berkomentar dengan merujuk pada kasus mantan pimpinan KPK tersebut. Bagi dia, penghentian itu karena pihak penyidik tidak dapat membuktikan seprei yang ada dalam foto yang menunjukkan AS telah melakukan tindakan 'tak senonoh' terhadap seorang perempuan. Padahal faktanya, boro-boro penyidik mau membuktikan keotentikan foto syuur itu, tindakan penyidik malah dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Bagi saya opini kriminalisasi inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk mendapatkan legitimasi melalui deponering itu.
Seandainya pihak penyidik tetap diberi kesempatan dan kewenangan tetap memproses kasus mantan pimpinan KPK, terutama AS, publik tidak akan terus menerus berada dalam kegamangan. Antara percaya dan ragu bahwa apa yang dilakukan POLRI merupakan sebuah bentuk kriminalisasi dan rekayasa pembunuhan karakter semata.
Publik dan rakyat Indonesia sebenarnya sudah terlalu lama dibiarkan berada dalam kegamangan. Sebut saja kegamangan publik dan rakyat Indonesia tentang kasus tragedi 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan istilah Gestapu. Dalang utama yang dituding hidungnya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Akan tetapi sejauh hari ini, belum ada proses peradilan resmi yang membuktikan sekaligus menyatakan bahwa gerakan tersebut merupakan upaya kudeta terhadap pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang didalangi PKI.