Oleh : eN-Te
Seperti tertulis di deskripsi profil, saya lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timutr (NTT). Saya menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Inpres Watobuku, Lamakera. Setelah menamatkan pendidikan dasar, saya kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di luar Lamakera.
Di Lamakera waktu itu hanya ada satu sekolah jenjang pendidikan menengah yang berbasis agama, yakni MTs Swasta yang dikelola oleh Yayasan Tarbiyah Islamiyah. Sementara sekolah jenjang menengah umum, setingkat SMP belum ada di Lamakera. SMP hanya terdapat di ibukota kecamatan.
Sekedar gambaran bahwa Pulau Solor terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Solor Timur dan Kecamatan Solor Barat. Kecamatan Solor Timur beribukota di Menanga, kurang lebih 8-10 km dari Lamakera ke arah barat. Sedangkan Kecamatan Solor Barat beribukota di Ritaebang.
Berdasarkan aspek sosiologis secara umum penduduk Kecamatan Solor Timur mayoritas beragama Islam. Sedangkan sebaliknya Kecamatan Solor Barat mayoritas penduduknya beragama Kristen Katholik.
Lamakera terbagi menjadi dua desa, Moton Wutun (Lamakera I) dan Watobuku (Lamakera II) merupakan kampung pesisir pantai yang 100 persen penduduknya beragama Islam. Meski demikian, warga Lamakera tidak menutup diri untuk menerima ‘warga pendatang’. ‘Warga pendatang’ ini adalah guru-guru nonmuslim yang ditugaskan pemerintah sebagai PNS untuk mengajar dan mengabdi di sekolah-sekolah dasar yang ada di Lamakera (selanjutnya guru-guru nonmuslim ini saya sebut sebagai ‘warga pendatang’ saja).
Di Lamakera terdapat dua SD, yakni SD Inpres Watobuku dan SD Negeri Lamakera. Ada satu lagi sekolah jenjang pendidikan dasar yang berbasis agama, yang juga dikelola oleh Yayasan Tarbiyah Islamiyah, yakni Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Lamakera. Dalam perkembangannya, baik MIS Lamakera dan MTs Lamakera, keduanya sudah di-takeover oleh pemerintah dan berubah status menjadi sekolah negeri, yakni MIN Lamakera dan MTs Negeri Lamakera.
Selama menempuh pendidikan di SD Inpres Watobuku, saya sudah mengenal dan diajar oleh beberapa ‘warga pendatang’. Sejak kelas IV – kelas VI, guru kelas saya adalah ‘warga pendatang’ itu. Selama di bawah bimbingan ‘warga pendatang’ itu, kami (siswa-siswa), tidak merasa ada masalah. Bahkan kami, khususnya saya merasa sangat ‘bahagia’ karena telah diajar oleh ‘warga pendatang itu’.
Ketulusan mereka untuk berbagi ilmu membuat interaksi dan relationship antara siswa dan ‘warga pendatang’ itu berjalan harmonis. Tidak ada perasaan ewuh pakewuh, perasaan risih, apalagi enggan menerima kehadiran ‘warga pendatang’ itu. Semuanya berjalan natural, tanpa ada perasaan berbeda karena alasan sektarian-primordial. Sebuah isu yang pada akhir-akhir ini menjelma menjadi isu panas, sehingga nyaris membuat negeri ini berada di ujung tebing. Di mana tenun kebangsaan ala Anies Baswean, nyaris robek menjadi centang perenang.
Ketulusan ‘warga pendatang’ itu tidak hanya ditunjukkan ketika berada di sekolah dan pada jam belajar resmi. Mereka juga tanpa merasa terbebani menyediakan waktu sore hari untuk memberikan kami pelajaran tambahan pada jadwal les sore. Itupun dilaksanakan di sekolah pula.
Kadang, dan lebih sering menyediakan pula waktu malam hari menerima kehadiran kami, murid-muridnya untuk belajar di bawah bimbingan mereka di mes guru yang menjadi rumah dinas mereka di bawah temaram lampu teplok (atau lampu pelita minyak tanah yang terbuat dari kaleng susu bekas). Sebuah ketulusan dan dedikasi, yang saat ini nyaris punah dan sulit ditemukan pada masyarakat urban di kota-kota besar.