Hampir pasti bahwa tulisan ini akan segera mendapat ‘cibiran’ dari ‘kiers penentang calon gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Mereka akan segera memberi label kepada penulis dengan sebutan penjilat, dengan frase jilat terus!. Mengapa demikian?
Karena cara mereka melihat kemudian memberi penilaian hanya menggunakan kaca mata kuda, hanya bisa melihat dari satu sisi, hanya melihat ke depan. Mereka tidak bisa akan menoleh kiri dan kanan, apalagi berbalik arah, melihat ke belakang. Mereka juga enggan sehingga tidak akan mau bergeser dari posisi berdiri saat ini. Meski dengan bergeser sedikit posisi berdiri ke posisi seberang dari posisi semula, maka sangat mungkin akan dapat mengubah perspektif mereka dalam memandang sebuah soal. Pasti ada gambaran dan panorama yang berbeda bila bergeser posisi berdiri. Tapi hal itu tidak mereka lakukan.
Sikap mereka begitu rigid dan nyaris mati (nurani). Prinsip mereka adalah pokoke. Apapun alasan rasionalnya tidak masuk dalam hitungan kaum pokoke ini. Sepanjang hal itu berkaitan dengan orang perorang yang bersifat personal atau mungkin juga kelompok yang tidak seirama dan sepandangan, maka tidak ada kompromi.
Fenomena kaum yang berprinsip pokoke mulai nampak dan muncul berjamur sejak Ahok naik pentas di aras politik nasional. Rame-rame orang perorang maupun kelompok dari kaum pokoke ini memberi label dan stigma minor.
Bahwa sejatinya, makhluk yang bernama Ahok itu, dalam tataran politik nasional, haram hukumnya untuk eksis. Meskipun hampir tidak dapat dipungkiri bahwa secara bawah alam sadar, mereka juga mengakui eksistensi Ahok dan malah pula (mungkin) merindukakan sosok ‘unik’ seperti ditampilkan Ahok.
Maka menjadi logis bila kebencian mereka terhadap Ahok hampir sebanding dengan kerinduan mereka terhadap ‘keunikannya’. Soalnya, sepanjang sejarah bangsa, belum ada seorang makhluk yang bernama Ahok ini yang dibenci nyaris ingin membunuhnya, sebanding dengan keinginan (baca: kerinduan) mereka menghadirkan figur yang setara dengan Ahok.
Sayangnya, sejauh ikhtiar yang mereka lakukan untuk menemukan dan kalau dapat menghadirkannya, hanya menampilkan potret buram. Figur yang digadang-gadang untuk dapat ‘memupuskan’ harapan Ahok untuk kembali bertahta di singgsana DKI 1, tak lebih dari menjual pernyataan-pernyataan puitis membuai penuh ambisi sambil nyinyir ‘melecehkan’ lawan.
Sah-sah saja setiap calon melakukan perang urat syaraf untuk melemahkan semangat (juang) lawan. Semua itu dimungkinkan sepanjang masih dalam koridor dan rambu-rambu yang diperbolehkan. Akan menjadi soal bila hal itu sudah keluar dari rel. Maka akan berpotensi menimbulkan kecelakaan, dan sudah pasti memakan korban (jiwa).
Kondisi aktual di pentas politik ibu kota hari ini membuat publik yang masih memiliki nurani tersentak. Hanya karena masalah pilihan politik, dan itu, lagi-lagi berkaitan dengan makhluk yang bernama Ahok, dapat membuat sekelompok orang atas nama perorangan maupun entitas, melecehkan harga kemanusiaan. Humanity menjadi tergadai. Rasionalitas menjadi terpasung.
Agama dan doktrin kebenaran universal diluluhlantakkan. Seseorang karena ketentuan takdir sehingga harus menyerah, dengan terpaksa harus berhadapan dan diperhadapkan pada sebuah kondisi yang dirinya sendiri tidak lagi dapat memilih. Kemenyerahan dirinya karena faktor alam (takdir), tidaklah kemudian dapat menggerakkan nurani mereka untuk mau menerima sebuah keniscayaan bahwa seseorang itu mempunyai kehendak bebas untuk menentukan pilihan politiknya. Soal pilihan politiknya kemudian berimplikasi pada resiko yang harus diterima adalah sebuah kewajaran dalam hukum sebab akibat (kausalitas). Tapi, harus disadari bahwa kemanusiaan adalah perasaan elementer yang tidak dapat dinafikkan dari kalbu yang bening bersih.
Maka fenomena aksi penolakan mensholati terhadap jenezah seseorang yang karena pilihan politik berbeda dari kaum pokoke adalah sebuah pengkhiatanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Semua agama pasti mengajarkan dan mempunyai doktrin yang mulia untuk tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, termasuk kepada jenazah, tanpa harus didiskriminasi atas dasar pilihan politik.