Satu sampai dua minggu terakhir atmosfir politik dan sosial Indonesia sangat hingar bingar. Kehingarbingaran itu terjadi menyusul sentilan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok terhadap tafsir surah al-Maidah ayat 51. Sentilan ‘provokatif’ terhadap surah al-Maidah 51 itu, telah menyulut kemarahan sebagian umat Islam ibokota maupun sebagian umat Islam seluruh Indonesia.
Bahwa (benar) sentilan ala Ahok itu sebagai reaksi terhadap ‘kampanye musiman’ agar umat Islam jangan memilih calon pemimpin nonmuslim. Dikatakan ‘kampanye musiman’, karena himbauan dan peringatan itu, baru nyaring terdengar setiap ada hajatan demokrasi. Baik itu hajatan demokrasi bersifat lokal (pemilihan kepala daerah (Pilkada)), maupun bersifat nasional, seperti pemilihan presiden (Pilpres).
Ahok mungkin sudah merasa gerah dengan berbagai manuver oleh sebagian elemen masyarakat yang menggunakan isu agama untuk mencapai tujuan politik. Apalagi mengintroduksi ayat-ayat pada kitab suci yang bersifat transedental untuk mencapai tujuan politik jangka pendek yang bersifat duniawi dan profan.
Sehingga, seperti ingin menguji riak permukaan air (test water), Ahok dengan tanpa merasa ‘risih’ menyinggung surah al-Maidah 51. Selang beberapa hari setelah video pidato surah al-Maidah 51, yang telah dipotong, kemudian diposting melalui akun facebook Buni Yani, publik, terutama umat Islam pun geger.
Geger karena merasa kitab suci, sebagai pedoman umat Islam, yakni Al-Qur’an seakan dilecehkan oleh seorang Ahok, yang ‘Non muslim’. Ahok yang ‘tersudutkan’, sehingga memaksanya harus meminta maaf, sambil menjelaskan bahwa tidak ada maksud dan niatnya menistakan agama Islam, khususnya Al-Qur’an.
Akan tetapi, rupanya sebagian umat Islam menganggap permintaan maaf itu belum cukup menyembuhkan hati mereka yang terlanjur terluka. Maka mereka yang merasa terluka, kemudian mengambil langkah kejut, dengan melaporkan Ahok ke polisi.
Langkah hukum harus ditempuh karena menurut sebagain umat Islam itu, permintaan maaf yang disampaikan Ahok tidak serta merta (otomatis) menggugurkan delik pidana (umum). Delik pidana mana, Ahok diduga telah melakukan penistaan agama (Islam), khususnya Al-Qur’an. Ahok diduga telah dengan sengaja mengutak-atik kesakralan ayat-ayat suci yang menjadi pedoman umat Islam. Ahok diduga telah berani bermain api, menyentil kesadaran paling dasar dan ‘harga diri’ umat Islam.
Bagi sebagian umat Islam, apa yang dilakukan Ahok merupakan upaya sadar untuk mendegradasi keyakinan umat Islam. Ketika seseorang yang tidak berkompeten, apalagi merupakan ‘umat luar’, tidak pantas dan elok, serta tidak seharusnya mencoba mengintervensi keyakinan dan kepercayaan umat lain. Apalagi berusaha menafsirkan ayat-ayat suci yang bukan menjadi bagian dari keyakinan dan kepercayaannya.
Dalam konteks tersebut, maka apa yang ditunjukkan Ahok merupakan anomali sikap dari kewajaran umum. Ahok dinilai telah melakukan penistaan dan penodaan agama, melalui upaya ‘menafsirkan’ ayat-ayat suci yang bukan kepercayaannya. Ahok bahkan dinilai telah dengan sengaja mencederai dan mengancam keberagaman. Mencederai dan mengancam nilai-nilai pluralitas ke-Indonesia-an.
Meski demikian, harus diakui bahwa heboh tafsir al-Maidah 51 oleh Ahok telah memberikan hikmah. Hikmah mana, telah membangkitkan kesadaran dan semangat (ghiroh) untuk membela kebenaran agama yang diwahyukan melalui kitab suci.
Harus segera digarisbawahi, bahwa semangat dan kesadaran beragama yang membara itu perlu pula diiringi dengan sikap-sikap yang menyejukkan. Karena moral agama, tak kalah pula senantiasa menganjurkan kepada umatnya untuk bersikap proporsional. Artinya ketika seseorang yang dituduh bersalah, kemudian atas kesadaran intrinsik menyampaikan permintaan maaf atas ‘keteledorannya’, mestinya pula kita juga harus menunjukkan sikap yang sama.