[caption caption="Siswa-Siswi Melakukan Dzikir Bersama"][/caption]
Oleh : eN-Te
Indonesia dikenal sebagai negeri yang memiliki beraneka adat dan beragam budaya. Keragaman itu juga terlihat dalam hal pengamalan keagamaan. Sayangnya nilai-nilai agung yang dituntunkan agama melalui ritual-ritual keagamaan oleh sebagian umatnya mengalami reduksi (makna). Maka tak heran bila dalam berbagai kesempatan dan atau kegiatan kita menyaksikan parade eksploitasi nilai religiusitas melalui pengalaman keagamaan yang terkesan vulgar. Dan fenomena eksploitasi nilai religiusitas ini semakin menemukan bentuknya seiring dengan berbagai kelompok kepentingan yang sedang mencoba peruntungan berburu nasib untuk sebuah jabatan tertentu.
Mobilisasi Dukungan
Ketika Soeharto berkuasa pada era Orde Baru, setiap kali pelaksanaan Pemilu, selalu saja muncul gerakan memobilisasi dukungan. Entah itu mobilisasi dukungan bersifat langsung dari instruksi Presiden Soeharto maupun melalui pembantu-pembantunya di anggota kabinet, serta perangkat pemerintahan di daerah (Provinsi dan Kab/Kota) seluruh Indonesia. Mobilisasi dukungan itu sendiri bermakna menggerakkan massa untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh mereka yang menggerakkan. Proses mobilisasi tersebut berasal dari atas ke bawah (top down), sesuatu yang digerakkan atas inisiasi dari atas. Hal itu tidak berarti bahwa pada saat itu tidak terjadi dukungan yang bersifat murni yang muncul dari bawah (botom up) oleh masyarakat akar rumput (grassroot).
Proses mobilisasi dukungan terhadap kelanggengan kekuasaan Orde Baru (Soeharto dan kroni-kroninya) dilakukan secara massif dan terencana. Semua kekuatan politik maupun sosial pada waktu itu dikerahkan untuk memberikan dukungan, baik secara politik maupun sosial. Kondisi itu dirancang dalam rangka untuk memberikan kamuflase bahwa rezim Orde Baru mendapat dukungan dari dan disukai oleh rakyat. Meski pada kenyataannya sebagian komponen sosial politik lain, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi juga melakukan “perlawanan” terhadap kekuasaan Orde Baru. Ada pula yang melakukan melalui gerakan bawah tanah, meski resikonya juga tidak ringan. Sebab jika terendus dan ketahuan oleh aparat intelijen maka akan segera ditindak dan ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif (makar) terhadap kekuasaan yang sah. Sebuah tuduhan yang tidak ringan, karena kosekuensinya akan membuat hak-hak politik dan hak-hak perdata seseorang tertuduh menjadi hilang dan mati. Sehingga parade memberikan dukungan terhadap kelanggengan kekuasaan menjadi sebuah pemandangan yang lumrah pada saat itu.
Proses mobilisasi dukungan terhadap kepemimpinan Soeharto dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, baik saluran resmi maupun tidak resmi. Saluran resmi misalnya melalui Pemerintah Pusat dan Daerah dan Partai Politik, sedangkan saluran tidak resmi yakni mendompleng organisasi massa (ormas) yang berafiliasi dengan pemerintah, misalnya diwakili ormas keagamaan, ormas pemuda, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bahkan sampai pada perkumpulan-perkumpulan pemuda maupun mahasiswa, serta karang taruna yang berada di pelosok kelurahan dan desa.
Doa Politik
Bentuk dukungan terhadap kepemimpinan Soeharto juga dimanfestasikan dalam berbagai rupa. Ada yang berupa pernyataan dukungan dan ada pula melakukan secara terbuka (deklarasi). Ada yang datang menyerahkan pernyataan dukungan itu secara langsung kepada Seoharto di Istana. Ada pula yang memberikan pernyataan dukungan secara simbolis. Semua bentuk dukungan itu, terasa sebagai sesuatu yang “wajar”, karena dalam banyak kesempatan pemerintah dan para politisi maupun kaum oportunis pada saat itu mencoba mendoktrinasi pemahaman publik bahwa belum ada calon pemimpin yang setaraf dengan Soeharto. Bagi mereka, Soeharto tidak (pernah) akan tergantikan.
Tidak cukup dengan memberikan dukungan melalui pernyataan (politik), baik dilakukan dengan mendatangi langsung Soeharto di Istana maupun secara simbolis, hal itu dilakukan pula dengan pendekatan keagamaan. Hal mana dilakukan dengan cara mengeksploitasi sentimen religiusitas umat. Maka tidak heran pada saat itu, kita juga menyaksikan proses mendukung rezim Seoharto juga dilakukan melalui ritual keagamaan. Tak kurang seorang Menteri Agama, Alamsyah Ratuperwira Negara, harus mengerahkan umat untuk melakukan ritual keagamaan, berdoa massal agar rezim Soeharto dapat berjalan lancar dan langgeng. Fenomena itu, oleh media massa kemudian dipopulerkan dengan istilah “doa politik”.
Fenomena tersebut juga menggambarkan bahwa sesungguhnya ritual-ritual keagamaan dapat saja dirancang untuk kepentingan duniawi, tidak hanya semata-mata urusan yang berkaitan dengan kepentingan ukhrawi. Hal yang seharusnya bersifat privat, urusan personal, tapi karena dorongan syahwat politik sesaat, kemudian digiring ke area publik.