Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Quovadis Pendidikan Budi Pekerti?

Diperbarui: 19 September 2015   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Sumber Gambar : di sini

 

Pengantar

Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan anarkhis berupa perampasan hak milik pengguna kendaraan sepeda motor di jalan raya oleh sekelompok orang (begal) yang sangat meresahkan ketertiban sosial masyarakat. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, dan juga media online serta media sosial, pemberitaan mengenai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang tidak dapat diterima menurut akal sehat dan nalar kita. Peristiwa-peristiwa tersebut dari sudut kemanusiaan kita sangat menyentak nurani dan di luar logika kemanusiaan kita. Peristiwa-peristiwa dan atau kejadian-kejadian tersebut menunjukkan gejala patologis yang sangat kronis (akut) yang mengindikasikan sebagian dari anak negeri ini sedang sakit.

Banyak peristiwa sosial yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini, seperti begal motor yang sangat meresahkan, memperkuat kondisi tersebut. Sejak rezim Soeharto dengan era Orde Baru (orba)-nya runtuh, muncul ephoria yang tak terkendali di kalangan masyarakat. Semua warga masyarakat seakan-akan merasa terlepas dari belenggu yang mengekang selama era Orba berkuasa.

Runtuhnya rezim era Orba, membuka jalan bagi lahirnya sebuah era, yang kemudian kita kenal dengan nama era reformasi. Era reformasi yang mengusung tema transparansi dan keterbukaan telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial kebangsaan kita. Transparansi dan keterbukaan yang dibawa oleh era reformasi memberi jalan bagi semua komponen anak bangsa untuk mengekspresikan semua kehendak sosial-politiknya secara bebas tanpa ada tekanan dan intimidasi. Semua komponen anak bangsa seolah-olah merasa berhak untuk melakukan apa saja tanpa mengindahkan norma-norma dan aturan yang berlaku. Mereka tidak mau tahu bahwa tindakannya itu apakah  bertentangan dengan nilai, norma, dan aturan yang berlaku, serta mengganggu kepentingan umum atau tidak?

Ada kelompok-kelompok tertentu dari komponen bangsa ini atas dalih kebebasan berekspresi seakan-ingin berlomba-lomba melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Maka lahirlah budaya permisif dan paham hedonisme yang kian merasuk di kalangan masyarakat kita. Dan hal itu semakin  menggerogoti sendi-sendi moral dan nilai-nilai keagamaan. Rasa kemanusiaan dan nilai moralitas kita terasa terusik melihat semua peristiwa yang terjadi belakangan ini di kehidupan sosial (masyarakat) kita. Hal-hal yang dulu dianggap sangat tabu, sekarang seperti menemukan momentumnya untuk dipertontonkan tanpa merasa risih dan malu di muka umum. Semua itu dilakukan secara sadar dan sengaja, yang secara nalar sehat tidak dapat diterima dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh kaum primitif. Terjadi pergeseran nilai secara drastis, bahkan sangat dramatis terutama di masyarakat perkotaan.

Peristiwa kekerasan (anarkhisme), seperti begal motor yang meresahkan akhir-akhir ini, pornografi dan pornoaksi menjadi hal yang lumrah, dan semakin merajalela dan dianggap sesuatu yang wajar dalam kehidupan sosial, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.  Ironisnya, hal ini diperkuat oleh sikap para pekerja seni (seniman), budayawan, pekerja industri hiburan, pekerja industri cetak (media massa), dan aktivis perempuan, atas dalih kebebasan berekspresi, telah dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai moral dan keagamaan dan menutup mata, berjuang supaya pornografi dan pornoaksi tidak diberangus dari bumi pertiwi yang tercinta ini. Bumi pertiwi yang masyarakatnya mengaku sebagai masyakat religius yang masih sangat teguh memegang nilai-nilai tradisi, moral dan keagamaan. Maka wajar, sekarang semakin terbuka layanan prostitusi online, yang melibatkan kaum jetset dan para artis. Bahkan kalngan artis yang telah digelandang oleh aparat karena tertangkap sedangkan “menjajakan” dirinya, masih dengan santai petantang petenteng ke sana ke mari sambil cekikikan dan cengengesan di buka publik. Mereka seakan merasa tidak berdosa, telah “menyebarkan” virus buruk bagi generasi anak negeri.

Stasiun-stasiun TV swasta dan media cetak, terutama tabloid panas dan picisan seakan-akan ingin berlomba-lomba mengeruk keuntungan dengan menampilkan program-program siaran kekerasan, pornografi, dan pornoaksi secara vulgar dan tetap menayangkan program-program acara yang tidak bermutu, meski sudah sering mendapat semprit dari Komisi Penyeliaran Indonesia (KPI) yang kurang bertaji, karena itu mereka, pengelola siaran, seolah tidak mau peduli terhadap nilai kemanfaatan bagi publik. Para “artis” yang bermasalah secara moral tetap saja dijadikan sebagai “primadona” dalam acara tersebut, hanya karena pertimbangan ekonomis semata, dan secara sadar mengabaikan norma-norma yang berlaku. Bahkan para “artis” yang bermasalah itu, bersikap lebay, seakan ingin menantang nurani publik. Karena harus diakui, program-program siaran itu merupakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kondisi ini semakin diperparah akibat tidak ada tindakan tegas dan sanksi sosial terhadap para pelaku kejahatan moral dan seksual itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline