Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Kegaduhan Ala Buwas dan Rizal Ramly, “Mengikuti” Gaya Ahok?

Diperbarui: 11 September 2015   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aksi koboi" ala RR ketika membongkar beton Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (10/9/15)

Oleh : eN-Te

Gaya kontroversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, yang biasa disapa Ahok (Menawarkan Kontroversi) adalah sebuah fenomena baru dalam perpolitikkan nasional arus utama (mainstream). Sejak kehadirannya di pentas politik nasional, Ahok terus menerus menawarkan kontroversi. Ahok bukan saja menawarkan kontroversi, tetapi juga pada batas-batas tertentu dianggap hanya membuat sensasi menantang arus. Bahkan bila mau ditarik-tarik, maka gaya politik Ahok dapat disimpulkan sebagai sebuah kegaduhan yang “menggembirakan”.

Tidak sedikit yang mendukung gaya politik Ahok di tengah praktek “kemunafikan” berjamaah yang dibungkus dengan kamuflase. Begitu pula tidak kalah banyak yang gerah dengan perilaku politik ala Ahok.  Meski begitu, Ahok tidak merasa terganggu dengan semua itu, seolah ia seakan sadar dan membiarkan sikap publik terbelah dalam menilai dirinya. Ahok membiarkan sebebas-bebasnya kepada publik untuk menilai, apakah dirinya seorang yang patut mendapat apresiasi atau sebaliknya harus mendapat caci maki. Ahok seakan bergeming dan mencoba “menikmati” semua itu dalam posisi tanpa beban.

Mungkinkah ada hidden agenda yang sedang dimainkan oleh Ahok, meski itu bernuansa politis untuk kepentingan mengamankan posisi politiknya masa depan? Katakanlah untuk kepentingan pencalonan pemilihan kepala daerah (pilgub) DKI Jakarta untuk periode kedua. Terlepas dari semua itu, gaya Ahok telah memberikan “inspirasi” kepada pelaku politik (politisi) untuk juga mengikutinya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah “kegaduhan” ala Budi Waseso (Buwas) dan Rizal Ramly (RR) dalam atmosfir politik nasional kekinian adalah juga karena terinspirasi ingin “mengikuti” gaya Ahok, yang juga untuk alasan kepentingan politik (karier politik masa depan)? Mari coba kita lihat dan telaah!    

Buwas Sang "Mr. Brutal"

Predikat brutal pertama kali disematkan kepada Buwas dan diperkenalkan pada publik oleh Buya Syafi’i Ma’arif untuk menggambarkan sikap dan perilaku Buwas. Predikat itu, “terpaksa” disematkan oleh Buya, karena gerah terhadap “kelakuan” Buwas yang tanpa pandang buluh menetapkan seseorang menjadi tersangka dan menangkapnya. Meski dengan alasan menegakkan hukum untuk menjalankan amanat undang-undang, cara dan langkah Buwas dianggap bertentangan “etika” seperti dianut oleh pendapat arus utama (mainstream). Rupanya banyak orang yang sudah merasa nyaman berada pada zona ini, sehingga merasa terganggu bila ada yang mencoba mengusiknya, meski langkah itu dijamin oleh ketentuan undang-undang.

“Kegaduhan” ala Buwas berawal ketika ia dengan sekonyong-konyong memerintahkan anak buahnya menangkap Bambang Wijoyanto (BW). Tanpa ada surat perintah tim penyidik Bareskrim menangkap BW ketika ia sedang dalam perjalanan mengantar anaknya ke sekolah. Lebih “tidak etis” ketika penangkapan itu, BW belum mengetahui status hukumnya sebagai tersangka, dan masih dalam kondisi berpakaian “rumahan”. BW masih berpakaian sarung dan baju koko serta kopiah, karena belum sempat berganti pakaian setelah melaksanakan sholat shubuh.

Belum sempat hilang rasa kaget, publik kembali dibuat terhenyak ketika Buwas menetapkan Novel Baswedan (NB) sebagai tersangka dan menangkapnya. Jajaran Bareskrim di tingkat Polda turut pula beraksi. Di mana Polda Sulselbar tidak mau ketinggalan kereta, sigap menetapkan tersangka dan menahan Abraham Samad (AS) atas tuduhan pemalsuan identitas (dokumen kependudukan, KK dan KTP). Berawal dari sini kemudian muncul istilah kriminalisasi. Dalam kegeramaman, Buya Syafi’i pun berteriak bahwa cara-cara yang dilakukan Buwas merupakan tindakan brutal. “Kebrutalan” ala Buwas yang membuat gaduh kemudian berlanjut dengan turut pula “mengkriminalisasi” Denny Indrayana (DI) dan dua komisioner Komisi Yudisial (KY). Maka tak heran, Buya Syafi’i dan kelompok-kelompok gerakkan antikorupsi pun berteriak lantang agar tindakan Buwas segera dihentikan dengan segera mencopot jabatannya dari Kabareskrim.

Tapi bukan Buwas namanya kalau hanya “gertakan” itu kemudian membuat ia surut langkah. Buwas tetap memperlihatkan “jati diri” sesungguhnya. Bahwa untuk sebuah kebenaran, meski harus melewati badai dan terjangan gelombang raksasa, ia tetap maju melangkah. Bagi Buwas kebenaran itu harus tetap diperjuangkan, meski taruhannya juga tidak murah, berkaitan dengan jabatan. Jabatan, dalam pandangan Buwas adalah amanah. Karena amanah, kapan saja harus diambil dan memang sudah saatnya harus diserahkan, maka ia tetap menyambut dengan tangan terbuka (welcome).  

Dalam perspektif demikian, saya merasa ada yang “aneh” dengan atmofsir politik mainstream yang menilai langkah Buwas sebagai hal yang membuat ke-gaduh-an. Padahal kita sepakat bahwa kejahatan korupsi merupakan sebuah tindakan pidana yang luar biasa, karena turut memberi andil dalam merusak sendi-sendi peradaban bangsa. Lepas dari ada motif dan interes politik tertentu yang sedang ditimbang oleh Buwas. Apakah Buwas sedang memainkan bidak sebagaimana “dicontohkan” Ahok dan akan terus “merecoki” rezim yang sedang berkuasa dengan membuat gaduh?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline