Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Pesta Bikini Pasca-UN dalam Kegamangan Kurikulum Pendidikan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14301279681043577253

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_380451" align="aligncenter" width="435" caption="sumber : www.m-edukasi.web.id"][/caption]

Dunia pendidikan Indonesia seakan tersengat menyusul iklan Splash After Class, yang mengundang anak-anak SMA yang baru usai melaksanakan Ujian Nasional (UN) untuk hadir dan mengikuti pesta berbikini ria. Rupanya panitia penyelenggara atau event organizer (EO) merasa perlu untuk merancang suatu “pesta khusus” untuk merenggangkan otot-otot dan urat-urat otak dan “urat” lainnya bagi anak-anak SMA yang sempat tegang selama ujian berlangsung. Entah mereka, para EO ini mengadopsi budaya mana, sampai memunculkan ide konyol, yang kemudian malah membuat gempar jagad pendidikan Indonesia.

Menurut informasi, “pesta khusus” ini, bukan hanya kali ini saja (baru) akan dilaksanakan. Tapi, pada tahun-tahun sebelumnya sudah pernah diselenggarakan. Bahkan oleh para penganut mazhab hedonis dan permisif, pesta semacam ini merupakan hal yang lumrah dan biasa-biasa saja, tidak perlu dipersoalkan. Katanya, karena pestanya diadakan di kolam renang, ya, jadi wajarlah bila “mewajibkan” peserta berbikini ria. Menjadi hal yang lucu dan kampungan bila sudah tahu mau bercemplung ria di kolam renang, kok, malah memakai baju tidur (piyama). Inilah logika para aphologetis, berdalih untuk mencari-cari pembenaran (justifikasi) atas sebuah ide konyol yang hanya ingin mempertontonkan hasrat primitif dan libido rendah hewani.

Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan

Kurikulum pada hakikatnya adalah instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuanpendidikan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa. Karena itu, kurikulum yang dikembangkan suatu negara harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Begitu pula  dengan Indonesia, memiliki falsafah dan pandangan hidup berdasarkan Pancasila, maka nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila menjadi rujukan utama dalam merumuskan kurikulum pendidikan.

Nilai-nilai dasar Pancasila diuraikan secara detail dalam butir-butir pengamalan sila-silanya. Pada masa rezim Soeharto berkuasa, butir-butir pengamalan sila-sila Pancasila dimasyarakatkan secara massif melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa dijabarkan kelima asas atau sila dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Butir-butir pengamalan ini kemudian berkembang menjadi 45 butir setelah MPR mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dan menggantinya menjadi Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.

Nilai-nilai dasar yang terurai secara praktis dalam 45 butir pengamalan Pancasila hendaknya menjadi rambu-rambu yang akan menjadi pedoman dalam menyusun sebuah kurikulum pendidikan. Sayangnya dalam perkembangannya, kurikulum pendidikan Indonesia mengalami pasang surut, gonta ganti, dan bongkar pasang. Kurikulum pendidkan sejak dari masa awal kemerdekaan sampai sekarang tidak ada yang pasti dan ajeg, yang bisa selalu relevan dalam merspon setiap dinamika yang terjadi. Yang muncul ke permukaan adalah adagium yang terkenal, ganti rezim (yang berkuasa), ganti (pula) kurikulum pendidikan.

Sejatinya penataran P4 yang berusaha membumikan nilai-nilai Pancasila dalam realitas kehidupan sosial telah memberi manfaat yang sangat penting bagi perkembangan kehidupam berbangsa dan bernegara. Dalam rentang waktu 32 tahun era Orde Baru, lepas dari segala kekurangan dan kelemahan yang mungkin ada, Soeharto telah memberikan landasan yang kokoh bagi pembentukan karkater bangsa (nation character building) melalui doktrin penataran P4. Sayangnya, sejak tumbangnya rezim Soeharto dengan berbagai romantika masa Orde Baru tahun 1999, telah pula membawa implikasi sosial politik dan juga pendidikan dalam proses pembentukan karakter bangsa. Praktis sejak Soeharto lengser ke prabon, penanaman nilai-nilai Pancasila seakan berjalan di tempat, bahkan terhenti. Sehingga yang terjadi atau yang muncul ke permukaan kemudian adalah pemahaman dan penghayatan (internalisasi) nilai-nilai Pancasila yang dangkal dan kering. Gejala itu tidak hanya terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum, tapi juga merambah pada area (wilayah) pendidikan, di mana basis pembentukan karakter bangsa di mulai.

Kurikulum Pendidikan dari Waktu ke Waktu

Sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia di mulai pada tahun 1947. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, Pemerintah menyusun sebuah kurikulum yang kemudian dikenal dengan nama Kurikulum Rencana Pendidikan (KRP). KRP ini berlaku dengan rentang waktu yang cukup panjang, sampai dengan tahun 1968. Pada tahun inilah terjadi perubahan iklim dan rezim pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim, dari rezim Soekarno (Orde Lama) ke rezim Soeharto (Orde Baru) maka terjadi pula perubahan kurikulum pendidikan. Praktis KRP ini berlaku selama lebih kurang 21 tahun.

Setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno, kemudian menahbiskan dirinya sebagai “penguasa” tunggal selama 32 tahun, terjadi pula perubahan kurikulum pendidikan. Kurikulum baru ini mulai dirilis pada tahun 1952, yang diberi label Rencana Pelajaran Terurai (RPT). Dalam RPT ini memuat ciri utama yaitu setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, RPT ini merupakan kurikulum yang berbasis life skill.

Namun demikian, RPT ini tidak juga bersifat langgeng. Pada tahun 1952, 12 tahun kemudian, terjadi lagi perombakan kurikulum. Kurikulum yang dilahirkan pada tahun ini diberi nama Kurikulum Rencana Pendidikan (KRP) 1964. Kurikulum 1964 ini menitikberatkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana.

Selanjutnya kurikulum pendidikan kembali berganti dan berubah. Empat tahun kemudian kurikulum berubah lagi menjadi kurikulum 1968.  Kurikulum 1968 mengalami perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum 1968 berorientasi pada subjek, di mana pelajaran yang diterima pada jenjang sekolah di bawah harys berkorelasi dengan jenjang sekolah lanjutan yang berada di atasnya.

Setelah era kurikulum berorientasi pada subjek pelajaran, kemudian berubah dan beralih kepada orientasi pencapaian tujuan. Maka lahir kemudian dalam kurung waktu dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1994, terjadi tiga kali perubahan kurikulum. Ketiga bentuk kurikulum ini menekankan pada isi atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu, mulai dari pendidikan klasik, perenealisme dan esensialisme, yang berorientasi pada masa lalu. Sedangkan fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskan ilmu pngetahuan, tehnologi, dan nilai-nilai budaya masa lalu kepada generasi yang baru.

Kurikulum era 1975 s.d. 1994 berakhir maka muncul kurikulum 2004-2006. Kurikulum yang lahir pada tahun 2004 ini yang kemudian lebih dikenal dengan nana Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK ini lahir atas respon dan tuntutan gerakkan reformasi. KBK menekankan akan pentingnya kompetensi yang harus dimiliki peserta didik pada tingkatan tertentu sesuai dengan kompetensi yang diharapkan.

Sama seperti halnya nasib kurikulum-kurikulum sebelumnya, KBK juga mengalami hal yang serupa. Karena dianggap tidak lagi dapat merespon dinamika dan perkembangan yang ada di masyarakat, maka sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, KBK kemudian berubah lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006.  KTSP pada galibnya memberikan wewenang penuh kepada setiap jenjang pendidikan untuk menyusun kurikulum sesuai dengan keunggulan dan keunikan sekolah dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.

Meski sekolah sudah mendapat kepercayaan untuk menyusun sendiri kurikulum sesuai dengan keunggulan dan keunikannya, tentu saja dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat (sekitarnya), pada kenyataannya hal tidak berjalan lancar. Dalam prakteknya, terjadi duplikasi antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya. Kepala Sekolah pada setiap jenjang pendidikan, tidak mau merasa repot dan susah-susah untuk menyusun KTSP, sehingga yang ada adalah proses duplikasi secara massal. Sehingga yang ada bukan lagi keunikan, tapi muncul keseragaman yang “dipaksakan”. Dan kondisi ini, seakan dibiarkan oleh semua pemangku kepentingan pendidikan.

Berkaca pada kondisi itu, maka Pemerintah kembali mengutak-atik kurikulum, maka lahir kemudian Kurikulum 2013, yang lebih populer dengan sebutan K-13. K-13 adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan. Sayangnya, K-13 yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada ujung rezim Pemerintahan SBY,  yang usianya masih belum seumur jagung, itu juga masih dalam proses sosialisasi melalui diklat para guru, Kepala sekolah, dan Pengawas, “dipaksa” harus berhenti. Sampai sekarang juga belum ada sinyal pasti dari Kemdikbud dan Dikdasmen untuk melanjutkan “proyek” prestius K-13 ini. Malah secara tersurat diinstruksikan agar semua sekolah yang menerapkan K-13  baru pada tahap awal agar kembali lagi ke KTSP. Maka yang ada adalah kegamangan, bahkan terjadi disorientasi. Sekolah-sekolah menjadi linglung untuk melangkah, berpegang pada “kurikulum” yang rapuh.

Para Petualang Syahwat

Di tengah carut marut perubahan dan pergantian kurikulum pendidikan, bergentanyangan pula para petualang penjual kemolekan tubuh siswa (anak baru gede, ABG). Kondisi ini rupanya dimanfaatkan oleh-oleh orang yang hanya berpikir untuk mengeruk keuntungan finansial semata dengan menjual aurat anak-anak generasi bangsa yang baru tumbuh mekar mencari jati diri. Anak-anak generasi bangsa ini digiring untuk menafikkan identitas dan jati diri bangsa yang sangat mengagungkan dan menghargai lekak lekuk tubuh manusia, yang hanya boleh dikonsumsi pada area privat, berusaha dieksploitasi untuk konsumsi syahwat syaitaniah.

Lepas dari pembatalan acara berbikini ria melalui Splash After Class oleh EO-nya, kondisi ini mengindikasikan satu hal, bahwa orientasi pendidikan telah mengalami pergeseran. Pendidikan awalnya didesain untuk mempersiapkan individu memasuki gerbang kehidupan dengan membekali diri pada kemampuan kognitif, sikap perilaku (behavior-attitude) pada ranah afeksi, dan meningkatkan keterampilan (skill) pada ranah psikomotorik, malah mengalami distorsi. Kurikulum pendidikan yang disusun dalam rangka menjadi sebuah perangkat panduan dan rambu-rambu untuk mempersiapkan anak bangsa melalui kemampuan kognitif, sikap perilaku yang matang dan dewasa, dengan keterampilan memilih dan menentukan pilihan, malah mengalami reduksi pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.

Dunia pendidikan yang menjadi gerbang kebangkitan yang mencerahkan, malah berubah menjadi lorong dan labirin panjang yang gelap dan mengelabui. Di titik inilah para petualang pencari “birahi” memanfaatkan untuk mereguk keuntungan. Syahwat syaitaniah dan libido kebinatangan nan primitif telah mengalahkan naluri luhur dan akal sehat. Padahal libido dan hasrat syahwat adalah sesuatu yang bersifat naluriah, yang diberikan oleh Sang Pencipta sebagai penyeimbang untuk menjaga kefitrahan manusia, sebagai makhluk yang berakal dan yang paling dimuliakan.

Oleh karena itu, akankah para pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari Pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat pada umumnya, membiarkan pendidikan terus menerus “dipermainkan” oleh para petualang bisnis libido? Sebagai bangsa yang beradab, tentu kita semua tidak ingin membiarkan orang-orang oportunis ini menghancurkan sendi-sendi peradaban bangsa. Dan sendi-sendi peradaban bangsa itu berawal dan dibangun melalui pendidikan yang berkualitas. Tentu saja pendidikan berkualitas itu harus pula didukung oleh sebuah kurikulum yang berkualitas dan membumi.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 27  April  2015, Pkl. 17.40 Wita

Sumber bacaan :

http://hidayatulfitriya.blogspot.com/2014/02/sejarah-kurikulum-di-indonesia-1945-2013.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

http://www.m-edukasi.web.id/2013/06/kerangka-kerja-kurikulum-2013.html

http://edukasi.kompasiana.com/2015/03/02/belajar-di-pesantren-kock-afeksinya-kurang-709680.html




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline