Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Paranoia Kaum Pengkhayal (UTOPIS)

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : eN-Te

I

Ada seorang  teman, – mungkin karena pengaruh suasana dan membaca beberapa tulisan saya di kompasiana menyangkut hiruk pikuk Pilpres 2014 yang lalu – menduga, bahkan menganggap saya berpaham Islam Liberal. Saya tidak terlalu risau dengan cap seperti itu. Bahkan tidak ambil pusing, entah dengan julukan apapun. Buat saya, yang penting saya tetap istiqamah menjalankan prinsip-prinsip yang menjadi keyakinan personal saya, meski buat orang lain dianggap atau dinilai sebagai sesuatu yang “nyeleneh”.

Paragraf di atas sengaja saya jadikan sebagai pembuka awal dalam tulisan ini untuk memberikan spektrum atau latar mengapa kali ini saya ingin mengangkat topik tentang rasa ketakukan yang tak berdasar dan berlebihan dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang cenderung melihat kelompok lain sebagai “musuh”. Apalagi kelompok itu jelas-jelas sebagai lawan politik. Sehingga mereka dengan mudah mencap atau memberi label kepada kelompok lain yang berseberangan, dengan cap atau label yang bersifat stigmatis. Bahkan secara diametral menempatkan kelompok yang berseberangan itu sebagai “musuh”, lebih jauh memberi justifikasi sebagai “kafir”.

II

Sesungguhnya gejala paranoia hampir dialami oleh setiap orang yang normal. Jika ketakukan itu disebabkan karena suatu obyek yang jelas, itu merupakan hal yang lumrah dan wajar. Tetapi, bila sebaliknya, rasa ketakutan itu muncul oleh suatu sebab yang tidak jelas dan pasti, apalagi cenderung berlebihan dan mengada-ada, orang yang mengalami gejala seperti ini disebut dengan paranoid. Menurut Wikipedia Indonesia, paranoid ditandai dengan proses pikiran yang terganggu. Pemikiran paranoid biasanya disertai anggapan akan dianiaya oleh sesuatu yang mengancamnya (Wikipedia). Karena hal itu, bisa jadi paranoia merupakan suatu gejala awal menyangkut proses kejiwaan yang cenderung bersifat ilusif, yang menjadikan halusinasi sebagai penggerak berpikir.

Istilah paranoia itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, terbitan Pusat Bahasa Depdiknas, 2008) berarti penyakit khayal; semacam penyakit jiwa yang berupa timbulnya pikiran aneh-aneh yg bersifat khayalan (h. 1125). Begitu pula istilah halusinasi merupakan istilah psikologi yang berarti pengamatan yang diperoleh tanpa adanya perangsang pada alat indria yang bersangkutan; keadaan seolah-olah melihat atau mendengar sesuatu yang seolah-olah tidak ada, seperti yang banyak dialami para penderita penyakit jiwa (ibid., h. 518). Ilusiberarti pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindriaan; juga mempunyai makna hanya dalam angan-angan saja; atau tidak dapat dipercaya; palsu (ibid., h. 576). Sedangkan ilusif menunjuk pada sifat, yakni bersifat khayal; bisa juga berarti bersifat memperdayakan atau menipu (ibid.,).

Sementara istilah utopis menunjuk pada orang yang suka berkhayal, yakni orang yang mengimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang utopi. Utopi itu sendiri adalah sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan yang sebenarnya (ibid., h. 1794-1795). Sedangkan paham yang menunjukkan kepada orang atau kelompok yang mengimpikan suatu tatanan (masyarakat maupun politik) yang ideal disebut utopisme. Utopisme mengandung makna ajaran yang memberi gambaran tentang tata masyarakat dan tata politik sempurna, bagus dalam gambaran tetapi sulit diwujudkan menjadi kenyataan (ibid.,). Malah sekarang gejala orang atau kelompok yang berpaham utopisme ini sedang tumbuh mekar di negeri nan indah permai yang bernama Indonesia ini.

III

Kembali ke persoalan pokok. Sekitar sepuluh tahun terakhir gema dan gaung tentang pemerintahan berdasarkan sistem khilafah berdentang sangat nyaring di telinga publik Indonesia. Ide atau gagasan ini mulai muncul dan bergema ke ruang dan atmofsir politik Indonesia sejak rezim Orde Baru dengan tokoh utama Soeharto, menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia di akhir 1997 dan awal 1998, sebagai embrio awal kejatuhan rezim Soeharto, dianggap sebagai sebuah pertanda dari model atau sistem pemerintahan yang mengabaikan nilai-nilai syariah, sebagaimana dipahami dalam sistem khilafah. Bagi pengusung gagasan ini, sistem khilafah, semua tata aturan, baik menyangkut sistem sosial kemasyarakatan maupun sistem politik harus senantiasa berdasarkan dan merujuk pada ketentuan syariah. Dan semua ketentuan syariah itu hanya bisa sempurna diterapkan secara total di bawah sebuah rezim yang bernama Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj annubuwwah. Persoalannya adalah apakah relevan dan dapat diimplementasikan ide atau gagasan sistem khilafah ini dalam spektrum keberagaman Indonesia. Mengingat Indonesia bukan merupakan suatu negara bangsa (nation-state) yang memiliki masyarakat dan budaya tunggal (homogen), tetapi terdiri dari berbagai-bagai etnik, kelompok sosial, budaya, dan agama yang sangat beragam/plural (heterogen). Inilah realitas yang harus perlu dipikirkan secara serius oleh para pengusung gagasan sistem khilafah, tanpa harus menutup diri dan menafikkan realitas sosial budaya di luar diri atau kelompoknya.

Pengusung ide tentang (penerapan pemerintahan) berdasarkan sistem khilafah dimotori oleh kelompok-kelompok yang mendambakan sebuah sistem pemerintahan nan ideal tanpa cacat. Kelompok-kelompok mana yang beranggapan hanya satu tananan nilai yang sempurna yang merujuk pada aturan Ilahi, yang mewujud dalam syariah yang bersifat tunggal dan seragam. Karena itu, apapun sistem nilai maupun aturan yang di luar ketentuan syariah, apalagi bertentangan dengan syariah, adalah tertolak (baca: tidak benar). Apalagi sistem nilai itu berasal dari Barat, yang dipersepsikan sebagai liberal dan kafir.

IV

Pada pekan pertama, Jumat, 3 Januari 2015, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menerbitkan Bulletin Dakwah ‘Al Islam’, edisi 737/Th.XXII/1436 H, mengangkat topik “2015: Tahun Liberalisasi dan Korporasi”. Seminggu kemudian, pada pekan kedua, Jumat, 9 Januari 2015, kembali HTI menerbitkan Bulletin Dakwah ‘Al Islam’, edisi 738/Th.XXII/1436 H dengan mengangkat isu “Bahaya Liberalisasi Harga BBM, Gas, dan Listrik”. Membaca kedua edisi bulletin tersebut, saya jadi segikit masygul dan geleng-geleng kepala.

Pada kedua edisi tersebut, bulletin tersebut menyorot  tentang liberalisasi pada masa pemerintahan sekarang, Jokowi-JK. Menurut bulletin tersebut, telah terjadi liberalisasi total dan menyeluruh dan semakin menjadi-jadi, yang ditandai dengan kenaikan harga BBM, kenaikan harga gas elpiji, dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL), serta dominasi korporasi. Menurut bulletin tersebut, akibat dari kebijakan pada ketiga sektor menyangkut hajat hidup orang banyak ini, menyebabkan kehidupan rakyat dan umat semakin menderita, di tengah tumpukan persoalan sulit yang mendera kehidupan mereka, yang memang sudah susah.

Menurut bulletin tersebut, pemerintahan Jokowi-JK seakan abai dalam memperhitungkan efek domino dari kebijakan menaikkan harga pada ketiga sektor yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak ini, terhadap kenaikan harga-harga bahan pokok dan harga-harga kebutuhan lainnya. Apalagi setelah pemerintah sendiri mengkoreksi kembali kebijakan itu, dengan menurunkan harga BBM, tidak serta merta membuat harga-harga bahan pokok dan harga kebutuhan lainnya juga ikut terkerek turun. Dalam pandangan mereka, kebijakan liberalisasi migas dan listrik, serta gas elpiji, selain menyusahkan rakyat dan menyenangkan kapitalis dan asing, juga jelas menyalahi syariah. Kebijakan liberalisasi harga (BBM, Gas, dan Listrik) itu berarti berpaling dari petunjuk Allah, hal mana menjadi sebab berbagai kerusakan dan kesempitan hidup masyarakat. Karena itu, ditegaskan bahwa liberalisasi migas (BBM, gas, listrik) itu juga sama artinya dengan memberikan jalan bagi orang kafir untuk mengontrol kaum mukmin. Bagi mereka, hal ini jelas, haram.

Bisa jadi dugaan dan kekhawatiran ini benar, jika dilihat akibat setelah kebijakan itu diambil, tetapi yang perlu dipertimbangkan pula adalah nilai kemanfaatan jangka panjang dari kebijakan itu. Jika kebijakan kenaikan BBM, gas elpiji, dan TDL juga berlandaskan pada kepentingan kemaslahatan yang lebih luas dan bersifat jangka panjang, maka hal itu, sejatinya tidak bertentangan dengan Islam (baca: syariah). Dengan begitu berarti, lepas dari plus minusnya, kebijakan kenaikan harga (BBM, TDL, gas elpiji) itu tidaklah haram. Adalah terlalu menyederhanakan persoalan jika kebijakan kenaikan harga BBM, TDL, dan gas elpiji semata-mata dilihat dari kaca mata tunggal, halal-haram, apalagi sampai menjust sebagai kontrol kaum kafir kepada umat muslim.

Jika setiap kebijakan dicurigai sebagai bentuk infiltrasi kepentingan “asing” (yang menurut penganut sistem khilafah sebagai kaum kafir) sehingga kepentingan umat Islam terkooptasi, maka bagi saya ini juga merupakan gejala paranoia. Kita cenderung menilai sesuatu secara hitam-putih ansich, seakan-akan dunia ini tunggal, hanya berisi keseragaman kepentingan, sehingga karena itu harus menolak setiap hal yang berbeda. Apalagi tidak semua yang  berasal dari “asing” itu tidak baik dan haram. Jangan sampai kita terjebak pada sebuah pemahaman sempit, sehingga dengan mudah mengharamkan sesuatu, meski hal itu memiliki rentang dan latar sejarah yang panjang.

Adalah sebuah keniscayaan, bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam keberagaman, baik atas dasar perbedaan jenis kelamin, tapi juga perbedaan suku, dan bangsa, sehingga berimplikasi pula pada keyakinan setiap orang (agama). Tujuannnya jelas, agar terjadi interaksi yang saling menguntungkan (simbiose mutualisme), dari proses hubungan saling kenal mengenal (lihat Q.S. Al-Hujarat, ayat 13). Sesungguhnya setiap orang atau kelompok berhak menyatakan keyakinannya paling benar bila dibandingkan dengan keyakinan lainnya. Bagi saya, sebagai muslim saya juga sangat, sangat yakin bahwa ajaran Islam adalah yang paling sempurna dan serba meliputi (inklusif), tetapi hal itu tidak harus membuat saya menutup mata dan menafikkan realitas sosial yang ada, bahwa di sekitar kita ada kelompok sosial lain yang memiliki keyakinan yang berbeda. Seperti  halnya dengan kita, umat Muslim, umat lain juga pasti mempunyai keyakinan, bahwa nilai-nilai ajaran dari keyakainan mereka yang paling benar. Tinggal kita sebagai makhluk Allah SWT, yang dianjurkan untuk saling kenal mengenal, agar secara bijak menempatkan diri dalam relasi dan interaksi sosial sebagai anak bangsa, bangsa Indonesia, yang pluralistik ini. Karena itu, memaksakan suatu paham dengan menegasikan kelompok sosial lainnya yang berbeda  keimanan dan keyakinan adalah sebuah tindakan yang arogan, hal mana hanya akan menunjukkan tirani mayoritas terhadap kaum minoritas. Padahal dalam konteks ke-Indonesia-an, setiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan (UUD 1945, ayat 27).

V

Tidak bisa dipungkiri bahwa memperjuangkan suatu nilai kebenaran atas dasar keyakinan, adalah sebuah tindakan yang mulia, karena itu sangat dianjurkan. Akan tetapi, jika nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan itu, harus melalui jalan yang sangat panjang, sehingga seolah-olah tanpa ujung, maka hal itu harus pula menjadi ukuran, apakah perjuangan ini harus terus dilanjutkan atau tidak. Karena jika tidak, hal itu hanya akan menempatkan kita pada posisi orang-orang utopis, yang sedang berkhayal untuk sesuatu yang bersifat muspra (sia-sia). Pernyataan ini tidaklah berarti saya menyangsikan kebenaran nilai dalam sistem khilafah yang sedang diperjuangkan oleh sebagian umat Islam di Indonesia, akan tetapi kalau boleh saya mengingatkan, agar tetap bersikap terbuka terhadap realitas sosial di sekitar kita. Sehingga kita tidak terjebak pada sebuah kondisi eksklusifime tanpa ruang. Allah SWT, dalam Q. S. Yunus, ayat 99,berfirman :


وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

.

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya” (Departemen Agama RI, h. 221).

Yaa sudah, bagi yang setuju dengan argumentasi saya, matur nuwuun, bagi yang tidak setuju, yang silahkan, meski begitu sebagai bentuk tatakrama tetap juga saya ucapkan terima kasih. Selamat membaca! Wassalam

Wallahu a’lam bish-shawabi



Makassar, 13  Februari  2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline