Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Oh Perempuan...

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membayangkan kata perempuan tergambar dalam kepala adalah orang dengan rambut panjang, hitam, berkulit halus dan bertutur lembut. Deskripsi seperti itu masih tertanam dalam hati saya, mungkin karena ketika saya kecil dulu suka sekali menonton acara TVRI, wayang orang. Media elektronik satu-satunya pada zaman itu memang menayangkan wayang orang dan wayang kulit secara bergantian setiap sabtu malam.

Peran wanita dalam wayang orang tersebut, misalkan cerita Rama dan Sinta, selalu dimainkan oleh seorang perempuan yang berkulit putih, bertutur kata lembut, berambut panjang hitam dan bergerak gemulai. Sementara peran laki-laki adalah seoarang yang gagah, kuat sekaligus lembut menunjukkan dominasi  peran laki-laki sebagai pelindung perempuan pada cerita tersebut.

Bagaimana dengan sekarang? Cukup lama saya berpikir ketika membayangkan kata “perempuan”, maka yang terlintas adalah sebuah kata sifat, tangguh. Tangguh yang saya maksudkan bukan seperti tokoh Xena, pejuang wanita, membawa pedang dan perisai, namun tangguh dalam artian cerdas dan multi tasking.

Mari kita membayangkan seperti ini (studi kasus pada perempuan yang telah menikah dan telah memiliki buah hati) : bangun pagi dengan masih menggunakan daster/pakaian tidur mulai dengan membuat/menyiapkan sarapan sambil membereskan pakaian seragam anak/suami, memeriksa tas sekolah anak termasuk bekal makan siangnya. Jika kebutuhan lain telah selesai, termasuk memastikan anak telah bangun, mandi, sarapan dan naik jemputan/berangkat sekolah, mulailah dirinya mempersiapkan diri (termasuk mandi, berdandan, pilih baju, sepatu, tas, sarapan dan bekal makan siang).

Setelah itu berubah peran menjadi perempuan yang berkarir dengan masing-masing tanggung jawab pekerjaannya. Saat bekerja, sang ibu masih memastikan anak (jika masih balita) lewat telepon genggam bahwa anaknya sudah makan atau tidur dengan baik.

Menjelang pulang kantor pun, makan malam menjadi salah satu tugas yang perlu disiapkan. Jika belum ada bahan makanan yang akan diolah, maka ia akan berbelanja lebih dulu atau pilihannya membeli masakan yang telah matang. Perjalanan pulang bisa dilakukan sendiri atau bersama dengan suami untuk mengurangi kelelahan turun/naik angkot. Tiba di rumah, maka memperhatikan anak (dengan berbagai cara) adalah hiburan bagi dirinya. Lalu mandi, mempersiapkan makan malam dan mungkin saja memastikan anak untuk belajar (termasuk mendampingi anak belajar) atau mengerjakan tugas sekolahnya, hingga waktunya istirahat malam. Kepenatan selama 1 (satu) hari tersebut melebur dengan mata yang ingin segera ditutup dalam balutan selimut yang hangat.

Lalu mari beralih dengan wanita yang tuntutan pekerjaannya adalah ketangguhan fisik. Suatu saat saya sedang duduk bersama penerima tamu kami di kantor. Seorang perempuan mengantarkan surat untuk seorang rekan kami. Perempuan ini adalah seorang kurir di kantornya ketika saya tanya mengapa ia yang mengantarkan surat tersebut. Kembali saya membayangkan sehari penuh, ia harus berada di jalan  dengan kondisi jalan Jakarta menggunakan sepeda motor. Berkompetisi setiap hari dengan kemacetan, terik matahari, dinginnya hujan. Meliuk-liuk di jalan, menghadapi bahaya, menentukan arah jalan, menghafal lokasi adalah bagian dari pekerjaan dirinya sebagai kurir. Tidak heran ketika saya bertanya jumlah kurir perempuan di kantornya, hanya 2 (dua) orang pegawai perempuan yang bertugas sebagai kurir.

Jika tulisan ini adalah sebuah film documenter, maka setelah adegan mengantarkan surat selama seharian, ia akan pulang ke rumah menyiapkan makan malam dan seterusnya. Fisik yang kuat dan kesabaran mungkin harus menjadi bagian dari pola hidup dan kerjanya.

Apakah ada pilihan lain? Mungkin saja, lalu mengapa bertahan? Mungkin ini adalah jawabnya.

Pemilihan pekerjaan didasarkan pada kehalalan hasil yang didapat, sehingga bentuk apapun dari pekerjaan tersebut dan mampu dilakukan, akan dikerjakan. Jarak yang jauh pun ditempuh untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka, para pekerja perempuan yang berada di negeri asing, menaklukan rasa rindu karena meninggalkan keluarga dan menghadapi kekhawatiran terhadap perbedaan budaya, bahasa, peraturan. Sementara di dalam negeri, profesi supir taksi, supir bis, kurir, yang dilakukan oleh kaum laki-laki kini mulai bergeser, untuk kemudian dilakukan oleh perempuan meski jumlah para pelakunya masih sedikit.

Tangguh, mungkin belum mewakili kekuatan yang tak terlihat dalam tubuh halus seorang perempuan. Semangat besar, tuntutan hidup, harapan, keinginan, anak, dan mungkin masih banyak alasan lain, mengalahkan banyak keterbatasan yang dimiliki oleh perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline