Kemarin siang, 30/9, saya mengikuti kegiatan tahunan kota Mühlbach di Maxen, yang bernama Dorffest, yaitu semacam pesta wilayah Mülbach yang mengiringi berakhirnya musim panas. Dorffest bukan sekedar pesta rakyat Jerman biasa, karena di acara pawai-nya kita bisa melihat sosok Raden Saleh dengan berpakaian Jawa, juga, dihadirkan. Ya, pengelola „das blaue Häusel“ atau rumah biru atau lebih tepatnya Masjid Berkubah Biru di Maxen meminta kesediaan masyarakat Indonesia untuk menyemarakkan pesta kota, dengan menghadirkan „Raden Saleh“ masa kini dari forum masyarakat Indonesia di Dresden (Formid), yang tahun ini diwakili oleh Mas Gatot asal Yogyakarta.
[caption id="attachment_202070" align="alignnone" width="521" caption="Di depan blaue Häusel. Franziska (istri Mas Gatot), saya, dan Ibu Tronicke (Pemilik)"][/caption]
Saya akan membuat tulisan tersendiri tentang pesta rakyata Dorffest tersebut, namun kali ini saya ingin menulis sekilas tentang blaue Häusel di Maxen dan Raden Saleh yang diambil dari berbagai sumber serta perjalanan kemarin.
Apa hubungannya Dorffest di Maxen dengan Raden Saleh?
Nama Raden Saleh banyak diabadikan menjadi nama jalan di Indonesia (termasuk kami sempat tinggal di area Jl. Raden Saleh Jakarta). Jika Anda mengetahui tentang sejarah dibalik pemberian nama jalan tersebut, mendengar nama kota Maxen tentu bukanlah sesuatu hal yang asing lagi.
Bapak seni lukis modern Raden Saleh Syarif Bustaman atau sering dijuluki sebagai ‘Bapak Modernitas Jawa’ adalah orang Jawa pertama yang pernah belajar ke negeri Belanda. Selain pernah tinggal di Belanda, Prancis dan Italia, beliau juga sempat tinggal di Jerman, tepatnya di kota Maxen selama kurang lebih 4 tahun yaitu berkisar diantara tahun 1839-1849.
Walau pada awalnya pelarian dari pejabat kolonial Belanda lah yang membuat Raden Saleh tiba di Maxen, namun dalam perjalanannya kemudian bisa dipahami lalu disimpulkan bahwa dengan tibanya Raden Saleh di Maxen bukanlah hanya sebuah kebetulan.
Hal ini bisa terlihat dari awal, setelah tiba di Maxen, Raden Saleh diterima dengan baik dan disemangati oleh Mayor Friedrich Anton Serres dan istrinya Friederika. Dan yang lebih menarik lagi, keluarga Serres, yang adalah pelindung karya seni pada masa itu kemudian menjadikan Maxen sebagai lokasi pertemuan bagi artis internasional seperti pencipta lagu Robert Schumann dan Franz Liszt, penyair Ludwig Tieck dan pengarang Denmark Hans-Christian Andersen, dimana Raden Saleh juga ikut serta.
Karena Raden Saleh merasa diterima di Maxen, hal ini membuat beliau lebih bebas berekspresi, termasuk dalam hal berpakaian. Jika di Belanda Raden Saleh memilih berpakaian gaya Eropa, namun, tidak demikian halnya saat tinggal di Maxen. Raden Saleh memilih memakai busana hasil rancangan sendiri, dengan memadukan sorban (peci) dengan kemeja dan jaket manik-manik juga memakai jubah (perbedaan kostum itu bisa jelas terlihat di buku yang dijual dengan harga 7,5 euro di museum dan blaue Häusel).
Rupanya tidak hanya dalam hal berpakaian, tetapi, tema lukisan Raden Saleh juga bergeser dari potret dan pemandangan menjadi perburuan. Walau saya masih menyisakan sebuah pertanyaan, karena dua lukisan berburu yang dihasilkan Raden Saleh di blaue Häusel tersebut bukan berwajah Indonesia atau Eropa, melainkan cenderung seperti pemburu berwajah Timur Tengah. Lalu, kenapa? Semoga kapan-kapan pertanyaan saya bisa terjawab, atau mungkin di buku yang dijual itu ada. Selain itu, Raden Saleh juga dikenal dengan lukisannya tentang Maxen pada saat musim dingin.
[caption id="attachment_202069" align="aligncenter" width="607" caption="Salah satu lukisan Raden Saleh di blaue Häusel dan wajah2 para pemburu yang lebih condong dengan wajah Timur Tengah"]
[/caption]