Di jalanan kota tua yang berkerut, terdapat seorang pengemudi becak tua bernama Pak Tejo. Kendaraannya bukan hanya sebatas tiga roda dan kursi kayu, melainkan sebuah cerita hidup yang terpahat di setiap goresan cat yang mengelupas.
Becaknya, dengan roda yang berderit di jalanan beralur, menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Pak Tejo, dengan pakaian lusuhnya, tersenyum ramah seperti matahari pagi yang memancarkan kehangatan. Setiap tarikan pedalnya membawa kita ke masa lalu, menuju jalan-jalan sempit yang menyimpan kenangan.
Dalam setiap penantian pelanggan, Pak Tejo menceritakan kisah-kisah masa muda. Tentang bagaimana becak ini menjadi saksi bisu pertemuan pertama seorang kekasih atau bagaimana ia menyaksikan tumbuh kembang anak-anak kota. Becak tua ini, seperti selembar foto berwarna-warni, menyimpan kebahagiaan dan duka dalam setiap pinggiran jalan.
Namun, seiring berjalannya waktu, becak tua ini pun merasakan kesulitan bernafas. Roda yang perlahan usang, dan kayu-kayu yang semakin rapuh. Namun, Pak Tejo tak pernah menyerah. Baginya, becaknya adalah teman setia yang telah menyaksikan setiap kisahnya. Meski sudah tua, ia tetap berusaha mengayuh, tak ingin menyerah pada badai waktu.
Kisah becak tua ini bukan hanya tentang perjalanan fisik di jalanan kota, tapi juga perjalanan melintasi jejak waktu dan memori. Dalam setiap tarikan pedalnya, Pak Tejo membawa kita mengelilingi nostalgia yang terkubur di antara gedung-gedung tua dan rimbunnya pepohonan kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H