Hal yang paling disukai oleh para suami adalah saat ia bisa membuat sang istri merasa gembira dan bahagia karena cinta dan kasih sayangnya. Ketika bisa memenuhi apa-apa yang istri inginkan dan begitu melihat reaksi wajah istri tercintanya yang tersenyum rasanya berada pada puncak keberhasilan berkeluarga. Begitupun sebaliknya bagi istri ketika ia bisa membuat sang suami merasa terbang melayang pada titik kebahagiaan dengan sejuta senyum ia akan sangat bersuka cita telah memenuhi gelora cintanya.
Suami adalah sang pemimpin dengan keberadaan dominan diatas karena harus melindungi, menafkahi, menghidupi dan menjadi penangungjawab keluarga. Keberadaan ini jangan sampai membuat istri dengan posisi normalnya di bawah tidak boleh merasa terinjak harga dirinya, tertekan jiwanya, terbatasi aktifitasnya dan tertindih keinginannya. Artinya suami tidak boleh bersikap seenaknya dengan keberadaanya di atas istri. Adakalanya iapun harus bisa merasakan posisi dibawah dengan menempatkan istri di atas untuk waktu dan hal-hal tertentu yang lebih dikuasi istri.
Seorang istri bukan mutlak milik suami, ia di lahirkan bukan sekedar menjadi mesin pencetak anak yang cantik. Tapi ia punya tugas yang lebih mulia yaitu mengisi kehidupan dunia ini agar menjadi indah, terjaga, damai dan penuh rahmat. Karena itu suami tidak boleh mengkebiri potensi istri dengan menjadikan istri sebagai orang rumahan yang hidupnya hanya dan hanya untuk suami.
Seorang wanita dengan emansipasinya tetap dia adalah wanita, tidak boleh lari dari kodratnya sebagai wanita yang memiliki rahim, intrumen menyusui dan pendamping suami. Karena itu janganlah melampui batas dan mendobrak ketentuan-ketentuan lahiriyah sebagai media terlahirnya generasi penerus.
Saat ini sudah banyak istri yang dengan kelebihan potensinya berpendapatan jauh melebihi para pria, bahkan ia bisa membeli puluhan pria dijadikan pekerja dan bekerja untuknya. Sementara suami seharian bekerja hasilnya sangat minim, tidak mencukupi kehidupan sehari-hari, bahkan ia makan dari harta sang istri. Situasi tersebut tentu saja menggeser norma norma atau posisi standar menjadi terbalik. Lalu bagaimana upaya penanganannya agar tidak menjadi salah dan dosa bagi keduanya?
Suami tetap sebagai pemimpin, ia harus menjadi pengendali dan pegendara keluarga. Istri harus menyadari itu semua. Suami jadilah imam yang lebih beriman, lebih sabar, lebih tawakal, lebih ikhlas dan lebih bertaqwa. Ia boleh lebih miskin harta tapi tetaplah berupaya sekuat tenaga mencari rizki, apapun yang didapat syukurilah dan tetap nafkahi istri dari apa yang ia dapat. Sang istri pada posisi di atas silahkan nikmatilah posisinya dengan tidak menjadikan suami merasa terbebani, tapi bisa merasa bangga dan senang dengan posisinya sekarang. Hargai keterbatasan dan kemampuan suami, tidak boleh merasa lebih baik karena sesungguhnya semua itu hanyalah ujian.
Suami harus selalu menjaga istri jangan sampai menjadi tak terkendali, drop atau sakit karena terlalu capai beraktifitas. Lakukan juga terapi-terapi cinta dan kasih sayang agar tetap harmonis, berupayalah terus untuk bangkit dari posisi terus dibawah dan jangan terus keenakan disitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H