Singhasari
Kutaraja,
‘raga kawruh astaning janmi’
I
kerap kali di jalan ini
langkah cêtak derap turangga
pak-pak-kêtêpak
pak-kêtêpak
menilap debu-debu
dalam titipan-
khas kepulan . . .
yang pepintu gerbang menatapku-
sang dwarapala
merapal hapal mantera
berpegang gempal gada
II
dari kejauhan arah Kurawan
yang mengantar kereta-
menderit laju-
takut berpagut-
di lempang bebatuan
‘hiat !
his his his . . . !
minggirlah kalian-
aral-aral nakal-
inilah aku si Arok-
pemegang cundrik gandring
luk pitu
di pamor biru . . . ha ha ha ha
ternyata akuwu Ametung sudah melengar mati
ini aku si Arok-
dalam laku-
dalam deru
lihatlah Kebo Ijo panelangsanku
yang meringkuk kikuk
dalam kubur -
di tanah Sentono kaki Gondomayit
kini tunggulah . . .
saat sasat saji kelebat
kedhaton kedhiri . . .
menenggak racun-racun . . . !!! ‘
III
Patirtan, Watugedhe
di esok yang berpulang . . . kala petang
kilau jernih mata air-
yang melingkar
di teduh beringin yang menaung-
merah bibir dalam pagut
pelukan-pelukan kerinduan
hingga-
kekelapanpun tertidur lelap . .
‘kekasihku Kendedes-
cantikku-asmaraku-
cintaku-dewiku . . .
dipelukku kini mahadewi
yang aku pun bersumpah
demi Sang Hyang asmara
di kerlingmu kematianku . . .