Lihat ke Halaman Asli

Pak Viktor dan Gubernur NTT

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku baru menuruni tangga pesawat. Panas sekali. Ini kali kedua aku mendarat di kota Kupang. Kulihat cuma dua pesawat kecil yang rupanya sudah tua berjejer rapih. Tiba-tiba, aku kaget. Ternyata, aku juga telah menumpang pesawat tua. Mujur, aku selamat. “Kok pesawat yang ke kota karang berumur uzur semua sih”, batinku dalam hati.

Seperti biasa, Om Beni menjemputku di Bandara Eltari dengan mobil Avansa milik bapak kecilku. Om Beni meminta untuk duduk di kursi depan. Biar enak ngoborol.

Kami pun meluncur meninggalkan bandara menuju arah Penfui. Di jalan lurus dari arah bandara, kadang-kadang kami bertemu mobil taksi kecil berwarna biru mudah meluncur dengan kecang berlawanan arah.

“Om, ini mobil taksi bandara?”, tanyaku ingin tahu.

“Ia”, Jawab om Beni. “Di sini taksi semuanya berwarna begitu dan dimonopoli oleh sekelompok orang yang berkuasa, tapi bodoh. Tidakada taksi yang lain yang bisa masuk bandara. Makanya, ongkos taksi juga mahal sekali.”, tambah om Boni menjelaskan tanpa saya bertanya.

“Bapak sekarang pasti semakin sibuk”, tanya saya coba mengalihkan pembicaraan.

“Ya... Memang tidak gampang jadi orang besar. Bapakmu sibuk sekali. Dia ke Jakarta seperti pergi ke kebun”, jawab om Boni hiperbolis sambil terus membuang pandangan ke depan.

Setelah itu, Om Beni banyak bertanya tentang keadaanku di Yogyakarta, tempat aku meniti ilmu. Aku menjawabnya dengan gembira. Avansa terus melaju kenjang seperti kijang. Tak lama kemudian, aku tiba di rumah bapak kecilku. Di rumah tak ada orang kecuali Tanta Yuli. Semuanya masih di tempat kerja dan di sekolah. Aku disuruh santap siang sama Tanta Yuli. Lalu, karena ngantuk dan kenyang, aku pun pamit untuk istirahat.

***

Ketika sampai di ruang keluarga kudapati bapak kecilku berpenampinan sangat bersahaja dengan memakai kameja putih yang sudah banyak berlubang karena api rokok dan dibalut sarung Timor yang indah sedang duduk di sofa membaca Pos Kupang edisi hari itu. Ia tampak serius.

“Selamat sore bapak”, ucapku yang membuyarkan konsentrasinya. Dia membuang pandangan ke arahku sembari tersenyum dan bangkit memeluk aku. Aku pun membalas pelukannya.

“Badan kamu agak turun. Apa kamu sakit? Atau karena kamu terlalu belajar?”, tanya bapak kecilku sembari memandangi aku sambil tertawa kecil. “Tapi kulit kamu lebih terang”, tambah bapak kecilku sembari menarik tanganku dan mengajak aku duduk.

Aku hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Bapak kecilku. Dalam hatiku aku mengakui kata-kata bapak kecilku. Memang benar badanku turun beberapa kilogram ketika harus menyelesaikan tesis S2ku di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta. Waktu istirahatku terbatas. Apalagi aku harus berhadapan dengan dosen pembimbingku yang sangat keras alias killer.

“Bagaimana studi kamu”, bapak memulai pembicaraan.

“Baik-baik saja bapak. Bulan depan saya wisuda.”, jawabku singkat.

“Lalu bagaimana dengan tesis kamu. Kamu dapat nilai berapa?”, tanya bapak ingin tahu.

“Kata dosen pembimbingku, aku dapat A.” jawabku sambil tersenyum.

“Profsiat! Bagus. Sudah kuduga kamu mendapat nilai seperti itu”, kata-kata bapak kecilku sambil tertertawa kecil.

“Terimah kasih bapak” kataku. “Tetapi aku bisa peroleh semuanya itu karena bapak”, tambahku.

Aku teringat 6 bulan yang lalu. Beliaulah yang pontang-panting membantuku untuk mengumpulkan data-data penelitian di Kupang. Walaupun waktu itu beliau sibuk dengan urusan kampanye untuk menjadi orang nomor satu di NTT, tetapi beliau tetap meluangkan waktu untuk membantuku dalam proses pengumpulan data dan informasi. Sekarang beliau sudah menjadi orang nomor satu di NTT. Tetapi, dia masih sama seperti dulu. Penampilannya yang sederhana dan sikap ramahnya tidak berubah sedikit pun. Itulah yang membuat aku kagum padanya.

“Bapak sedang baca apa?”, tanyaku sekedar untuk membuka percakapan.

“Ini anak...ada berita dugaan korupsi di dinas kesehatan”, jawab bapak kecilku. “Saya sebagai gubernur malu dengan hal-hal seperti ini. Apa lagi dinas kesehatan ini ada di ibu kota propinsi. Ya..memalukan sekali anak”, lanjut bapak kecil sambil membolak-balik Pos Kupang mencari berita korupsi yang tadi sudah dibacanya untuk ditunjukkan ke saya.

“Siapa yang di duga korupsi dan berapa besarnya”, tanyaku ingin tahu.

“Ini anak...Ini bapak punya kawan akrab, pak Viktor, di dinas kesehatan. Dia korupsi dana kesehatan pengadaan obat-obatan dan peralat medisini kah. Di ini koran ditulis kerugian negara sekitar 800 juta”, jawab bapak kecilku dengan wajah kesal.

“Ya, kalau memang terbukti secara hukum dia harus harus dihukum.”, jawabku agak serius dan sengaja untuk mendengar reaksi orang nomor satu di NTT ini.

“Tapi anak...kasihan juga dia. Anak-anaknya kan masih kecil. Kalau dia harus dipenjara, siapa yang akan mengurus anak-anaknya”, bantah bapak kecilku sambil meraih sebungkus rokok Sempoerna di atas meja. Diambilnya sebatang, dibakar. Lalu, diisap. Kepulan asap rokok meliuk-liuk dan menutupi wajahnya. Matanya kerlap kerlip menahan asap yang keluar dari lubang hidunya sendiri.

“Bapak, koruptor itu penjahat. Martabatnya jauh lebih rendah dari Anjing, Babi dan Kerbau. Hanya satu kata yang pas untuk melukiskan mereka. Yakni, “Biadap”, kataku sedikit emosional. “Mereka harus dihukum. Tidak perlu ada prinsip belas kasihan.”, sambungku sambil berusahan setengah mati tersenyum ramah kepada tanta Yuli yang sedang mendulang dua cangkir kopi ke arah kami yang diikuti oleh adik Noni yang memegang sepiring kue.

“Benar anak...S hukum harus ditegakan”, kata bapak kecilku. “Tapi anak...di NTT koruptornya ada banyak. Pak Viktor hanyalah satu orang dari ratusan pejabat publik dan pejabat birokrasi lainnya yang berbuat demikian.”, lanjut babak kecil.

Aku berhenti sejenak. Rupanya orang orang nomor satu ini sok bela-belaan dengan pejahat negara paling berbahaya ini.Otakku terus bergerak.

Kuteguk hidangan kopiku. Ehm...rasanya kopi ini dari Manggarai. Kualitas kopi Manggarai memang khas dan nikmat. Tetapi, jangan-jangan kopi ini yang berasal dari kawasan hutan lindung Meler Kuwus dan Colol. Atau jangan-jangan, kopi ini adalah hasil butiran keringat enam orang petani Colol yang mati ditembus timah panas dari moncong senjata polisi pada tragedi Rabu Berdarah di tahun 2004 itu. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi aku tak tahu pasti. Yang pasti, kopi ini dinikmati juga oleh orangnomor satu di NTT, bapak kecilku.

“Benar bapak...Pak Viktor hanyalah satu di antara ratusan koruptor. Oleh karena itu, agar supaya adil, bapak harus mendorong lembaga hukum untuk bekerja lebih baik. Hukuman berat yang diberikan kepada seorang koruptor akan bisa memberikan efek jera atau shock theraphy untuk calon korupsi yang lainnya yang ada di NTT. Dengan ini, Kupang tidak akan menjadi kota terkorup seperti berita Pos Kupang 6 bulan yang lalu itu. Sebagai gubernur, bapak tentu malu jika salah satu wilayah administrasif bapak dikategorikan sebagai kota paling korup di Indonesia.”, jelasku membenarkan apa yang dikatakan babak kecilku.

Setelah aku menghentikan penjelasan yang cukup panjang. Kurasakan mulut dan tenggorokanku terasa kering. Kuteguk lagi kopiku yang sudah mulai dingin dengan nikmat. Bapak kecilku pun rupanya menghabiskan tegukan terakhir kopinya.

Tiba-tiba ibu Martha datang mendekati kami. Lalu ia duduk dengan sopan di samping suaminya yang suka bela-belain teman akrabnya sendiri.

“Ehm….Orang Jogya ini sudahpintar bicara politik ya…”, puji ibu Martha kepadaku.

Aku cuma tersenyum malu sambil meneguk sisa kopi terakhirku. Bapak kecilku cuma tertawa. “Kami tidak bicara politik mama”, terangku. “Kami bicara tentang berita Pos Kupang hari ini”, tambahku.

“Oh ya….Tapi omong-omong, hidangan malam sudah siap. Mari kita makan dulu. Setelah itu, baru kamu lanjutkan cerita tentang rencana kerjamu dengan bapakmu”, kata ibu Martha sembari mengajak kami ke meja makan.

***

Di meja makan kami lebih banyak bicara tentang keluarga dan masa lalu. Kami tertawa dan bersenda gurau. Setelah makan, perutku terasa sakit. Rencana cerita tentang pekerjaanku ditunda. Mungkin inilah peringatan awal dari Tuhan agar menghindari KKN dalam usaha mencari pekerjaan. Atau, jangan-jangan aku telah menyantap hidangan tak halal hasil korupsi barusan. Aku tak tau. Hanya Tuhan dan bapak kecilku yang tau.

Yogyakarta, 7 Agustus 2008




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline