Lihat ke Halaman Asli

"Tenggelamnya": Sebuah Drama yang Lucu dan Ganjil

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dapat dikatakan merupakan film yang tepat tayang, yaitu bersamaan dengan film Soekarno. Di tengah hingar bingar kontroversi “Soekarno”, maka film ini menjadi alternatif tontonan yang menyejukkan. Film yang diambil dari novel Buya Hamka tahun 1938 ini tentunya akan memberikan setting yang menarik. Kebetulan beberapa review, baik dari media maupun teman yang telah menonton,  memberikan penilaian positif. Saya sendiri lebih tergerak untuk menonton setelah menonton wawancara Herjunot Ali di Sarah Sechan Show.  Jadi dengan harapan yang tinggi saya menonton film ini.

Film ini sebetulnya menceritakan suatu kesedihan dari cinta yang tak sampai. Cinta antara Zainudin dan Hayati terhalang oleh adat, karena Zainudin yang dianggap tidak jelas asal usulnya, plus Hayati memiliki alternatif pilihan seorang laki-laki ganteng dari keluarga terhormat (dan kaya, atau karena kaya maka terhormat, entahlah).  Sayangnya, atau untungnya, kesedihan dalam film ini digambarkan secara konyol, sehingga lebih memancing tawa penonton dibandingkan air mata.

Kelucuan utama ada pada tokoh Zainudin, yang diperankan oleh Herjunot Ali. Menurut buku, Zainudin ini anak dari Pendekar Sutan dari Batipuh, yang berselisih dengan mamaknya mengenai warisan.  Pendekar Sutan membunuh mamaknya sehingga ia dipenjara di Cilacap. Setelah bebas, Pendekar Sutan merantau ke Makassar, menikah dengan Daeng Habibah, dan memiliki anak yang bernama Zainudin, yang kemudian tumbuh sebagai anak yatim piatu.

Film ini dibuka di Makassar, di mana Zainudin menyatakan keinginannya untuk berkunjung ke tanah kelahiran ayahnya. Penonton langsung disajikan suatu percakapan dalam Bahasa Makassar antara Zainudin dengan seorang ibu yang membesarkannya. Suatu pembukaan yang menjanjikan. Lalu, selanjutnya Zainudin sudah sampai di Batipuh, menemui kerabat ayahnya yang terkesan kurang “welcome” namun akhirnya menerima Zainudin setelah diberi uang.  Tanpa dilatarbelakangi pemahaman mengenai kasus Pendekar Sutan, maka penonton diberi kesan bahwa kerabatnya Zainudin ini “matere”.

Kelucuan Zainudin adalah dari caranya berbicara. Dia bisa bicara Bahasa Makassar dan Padang, namun kemudian lebih banyak berbahasa Indonesia, dengan aksen Makassar, mungkin, tapi lebih mengesankan sebagai orang Medan yang agak gagap. Mungkin  ini akibat keterbatasan kemampuan dari Herjunot Ali, namun karena film ini mengandalkan narasi lisan yang panjang dari surat-surat yang dibacakan, sehingga kedalaman isi surat, cinta, dan kepedihan Zainudin kurang meresap.

Selain itu, penampilan Zainudin yang polos, lugu dan alim ini tidak tertransformasikan dengan baik ketika dia kemudian menjadi orang kaya raya. Walaupun sudah dibalut pakaian dan mobil mewah, tetap saja ada kesan “kurang pantas”.

Kelucuan pertama muncul pada saat adegan perpisahan antara Zainudin dan Hayati, karena Zainudin  harus pindah ke Padang Panjang diusir dari Batipuh. Hayati bersumpah akan mencintai dan menunggu Zainudin sampai akhir hayatnya. Di tengah percakapan yang sedih ini, Zainudin nyeletuk kasih komentar tentang sumpah Hayati yang menurutnya terlalu besar. Komentar yang disampaikan dengan aksen Medan ini menimbulkan tawa di tengah adegan perpisahan yang sedih.

Kelucuan berikutnya adalah ketika Zainudin menderita depresi akibat ditinggal kawin Hayati. Adegan sakit ini mungkin ingin menggambarkan betapa hancurnya Zainudin. Namun kembali yang muncul adalah adegan lucu, ketika Zainudin menganggap pak dokter sebagai Hayati. Kelucuan berikutnya, ketika Hayati datang menjenguk, Zainudin  digambarkan langsung mengenali Hayati dari suaranya, karena sepanjang adegan matanya terpicing, seakan-akan buta (sebagaimana ia terkesan buta sewaktu mengira pak dokter sebagai Hayati).  Namun ia kemudian dapat melihat jari-jari Hayati yang sudah diberi warna, tanda sudah menikah. Langsung stress lagi. Untungnya kemudian ada bang Muluk, sepupunya. Bang Muluk ini digambarkan sebagai anak bandel yang kerjaannya hanya nongkrong di warung kopi dan ibunya sudah putus asa dengan kelakuannya. Namun, mungkin karena prihatin dengan sakitnya Zainudin, bang Muluk berubah menjadi orang yang bijak, yang bisa memberi nasehat kepada Zainudin. Akibat nasehat bang Muluk ini, Zainudin langsung sembuh dan keluar dari kesedihan.

Kelucuan yang terakhir adalah pada saat Hayati meninggal. Sebetulnya saya (dan mungkin juga penonton lain) menduga Hayati meninggal pada saat tenggelam di dasar laut. Adegannya dramatis, di mana dia melayang-layang di dasar laut sembari terdengar suaranya membacakan surat perpisahan ke Zainudin.  Ternyata dia bisa diselamatkan dan ditemukan oleh Zainudin di sekitar pelabuhan, bersama korban lainnya. Di sinilah, di pelukan Zainudin, ia meninggal, dalam proses yang cukup panjang, karena Zainudin harus menyatakan penyesalannya telah mengusir Hayati dan menangis terisak-isak sampai air mata dan ingusnya berceceran di mukanya Hayati. Pada adegan yang panjang ini, penonton dihadapkan pada gambar di mana Hayati sempat terbangun dan mengeluarkan beberapa kata. Lalu ia sepertinya meninggal diiring oleh tangisan Zainudin. Selesai. Eh, ternyata Hayati membuka matanya lagi. Dia belum meninggal. Seharusnya penonton lega. Namun karena sudah dua kali mengira ia meninggal, maka yang terjadi di bioskop adalah suara tertawa penonton, bukan isak tangis.

Selain lucu, ada beberapa keganjilan dari film ini, seperti kebut-kebutan mobil di perkebunan, gerakan penonton di pacuan kuda yang terkesan di buat-buat, rumah Zainudin di Surabaya yang besarnya seperti istana dan dilengkapi dengan perapian yang menyala (Surabaya lho), pakaian debt collector (terutama topinya yang baru saja saya lihat dijual di Bali) lambaian perpisahan di pelabuhan yang mirip dengan penonton pacuan kuda,  nakhoda yang terkesan tidak panik pada saat kapal tenggelam dan penumpang kapal  yang sibuk berputar-putar melingkari  Hayati pada saat kapal tenggelam, dan para penumpang yang selamat dengan luka-luka yang lebih mirip dengan korban perang. Juga dengan perubahan Zainudin yang mendadak menjadi hedon, dengan pestanya yang meriah.

Ada dua hal yang sebetulnya membuat saya tidak nyaman dan ingin segera keluar. Satu, ketika lagu-lagunya tidak sesuai dengan situasi di tahun 1930an. Pada saat Nidji mulai bernyanyi, saya langsung teringat dengan film The Great Gatsby, yang kemudian dikonfirmasi dengan adegan kebut-kebutan dan pesta. Saya merasa suasana yang sudah terbangun dengan penggunaan bahasa asli kemudian terasa seperti tempelan.  Dan penggunaan bahasa Padang memang tidak berlanjut. Setelah Zainudin sembuh, para pelaku lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Saya tidak tahu apakah lazim ketika itu berbahasa Indonesia, namun setahu saya rasanya tidak lazim jika orang dari satu daerah, seperti Padang, tidak bercakap-cakap dalam bahasa daerahnya.

Saya berharap film ini berakhir pada saat Hayati tenggelam. Namun ternyata, film ini belum berakhir walaupun Hayati sudah meninggal. Akhirnya, saya keluar bioskop dengan kelelahan yang sangat berat. Film dimulai jam 21.30, selesai lewat tengah malam, dan saya baru tidur sekitar jam 2 dini hari.  Keesokan harinya, saya bangun dengan perasaan kurang sehat, mungkin karena kurang tidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline