Lihat ke Halaman Asli

Di antara Margareta Astaman dan Joki Three-in-One

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin, sekitar jam 8.30 saya harus pergi ke Jakarta Pusat melintasi jalur three-in-one. Karena sendirian, saya mengarahkan kendaraan ke Senayan untuk mencari joki. Kebetulan acara di radio yang biasa saya dengarkan di pagi hari, yaitu Farhan in the Morning di Delta FM, kurang menarik, sehingga saya mencari stasiun radio lainnya. Dan saya menemukan radio female yang sedang mewawancarai Margareta Astaman. Wah ini pengarang buku yang saya sukai.

Margareta atau biasa dipanggil Margie adalah blogger yang produktif yang telah menghasilkan beberapa buku. Bukunya yang terakhir berjudul Excuse-Moi.   Saya sendiri baru membaca satu bukunya yang berjudul After Orchard. Banyak sekali pengetahuan yang saya peroleh di buku yang ditulis dengan sangat menarik ini. Buku tersebut menceritakan pengalaman hidupnya di Singapura pada saat kuliah di Nanyang Technology University (NTU). Ada cerita mengenai pengalaman yang menyenangkan, tapi banyak pula cerita mengenai penderitaannya,yang disajikan tanpa nada kesedihan. Saya suka membaca pengalaman orang yang kuliah di luar negeri, sejak membaca buku kecil karangan Arief Budiman di Harvard. Kebanyakan orang yang belajar di sekolah bagus pasti mengalami penderitaan. Dan saya belajar, penderitaan yang berhasil dilalui kelihatannya selalu meninggalkan kenangan yang manis.

Kembali ke cerita semula, sembari pelan-pelan menyusuri Senayan untuk memilih joki yang berdiri berjejer, saya mulai mendengarkan wawancara tersebut. Sayang saya agak terlambat, tidak mendengarkannya dari awal. Lalu saya mendapatkan joki, ibu-ibu dengan anaknya yang berusia 3 tahun. Si ibu ini termasuk joki yang ramah. Ia mencoba untuk membuka percakapan ringan. Kelihatannya ia berusaha untuk mencari langganan tetap. Tapi kemudian anaknya agak rewel dan bahkan menangis. Sehingga si ibu kemudian sibuk membujuk anaknya.

Di suasana mobil yang ramai ini, saya mengalami kesulitan untuk konsentrasi mendengarkan wawancara Margie. Hanya ada beberapa hal yang saya tangkap. Ada pembahasan mengenai keinginan Margie untuk hidup sebagai tukang cerita dengan sedikit debat dari pewawancara terkait dengan pekerjaan Margie saat ini.  Ada cerita tentang fasilitas belajar yang lengkap di NTU dan pengalamannya meliput kehidupan kelompok hip hop di Laos dan golongan menengah di pedalaman Thailand, kalau tidak salah. Pengalaman yang sangat menarik ini sayangnya tidak dielaborasi lebih lanjut oleh pewawancara. Juga ada cerita mengenai buku Lima Sekawan yang memicunya untuk menjadi tukang cerita, tentang mimpi dan legacy,  dan tentang kebahagiaannya ketika tulisannya menjadi inspirasi bagi orang lain.

Sekitar jam 9.00, saya berpisah dengan si ibu joki dan tak lama kemudian acara wawancarapun berakhir. Sayang saya tidak dapat menyimak sepenuhnya.  Dari wawancara tersebut  kesan bahwa Margie memang pencerita yang menyenangkan, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tapi juga secara lisan. Saya malah terganggu dengan pewawancaranya yang terlalu bersemangat, memberi komentar di sana sini sehingga mengganggu alur cerita Margie. Dan yang paling mengesankan bagi saya adalah Margie berusaha untuk terus menggunakan bahasa Indonesia, dan hanya menggunakan istilah dalam bahasa Inggris seperlunya. Berbeda dengan pewawancara yang menggunakan bahasa Inggris di sana sini. Di akhir acarapun, pada saat perpisahan, pewawancara mengucapkan kata “see you” dibalas Margie dengan “sampai bertemu kembali”. Salut untuk Margie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline