Lihat ke Halaman Asli

Cerita tentang Dua Ibu Bukan pada Hari Ibu

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini secara selintas saya mendengarkan ceramah subuh dari Aa Gym di radio, yang membuat saya tergerak untuk langsung menulis catatan ini (mohon maaf saja kalau catatan ini salah-salah karena mendengarnya juga selintasan hehe). Ada seorang ibu yang diwawancarai. Ibu yang berusia 77 tahun itu sedang mengikuti program pesantren 40 hari untuk ibu-ibu usia lanjut. Ibu tersebut bercerita bahwa suaminya meninggal dunia pada saat si ibu masih berusia 40 tahun. Suaminya meninggalkan si ibu dengan 7 orang anak. Aa Gym lalu berkomentar bahwa ibu tersebut membesarkan 7 orang anak sendirian. Si ibu membantah, bahwa Allah-lah yang membesarkan anak-anaknya. Dia pasrahkan kepada Allah untuk memberi jalan membesarkan anaknya karena dia yakin Allah maha kaya, maha pemurah dan maha penyayang. Dia biarkan hidupnya mengalir dan dia bercerita tentang 6 orang anak laki-lakinya yang semuanya menyelesaikan kuliahnya dengan bea siswa. Menurut Aa Gym Allah mengaruniai anak-anak si ibu dengan kecerdasan dan kerajinan belajar yang pada akhirnya memudahkan mereka untuk memperoleh bea siswa dan menyelesaikan kuliahnya.

Saya jadi teringat seorang sahabat saya, yang ditinggal pergi suaminya dengan perempuan lain. Dia juga harus berjuang membesarkan dua orang anaknya, tanpa tunjangan dari suaminya dan tanpa pekerjaan. Dia bercerita tentang kehidupannya yang tidak memiliki uang yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupannya paling tidak selama sebulan. Dia hanya hidup dari hari ke hari dengan tawakal dan memasrahkan hidupnya kepada Allah. Kebetulan kedua anaknya cerdas. Mereka mengikuti program akselerasi ketika masih SMP sehingga mempercepat masa sekolah mereka dan menghemat biaya. Sekarang ini keduanya kuliah di Universitas Indonesia. Anak yang pertama masih menikmati uang sekolah yang murah, yaitu 750 ribu per semester, tapi si bungsu sudah harus membayar 7,5 juta per semester. Biaya pendidikan anak semakin berat, tapi sepertinya dia bisa mengatasinya. Masa-masa sulit yang dia ceritakan selama sekitar 3 tahun sudah dilalui. Kehidupannya sekarang sudah lebih baik. Dia bercerita sering mengantar anaknya ke Depok dan menjemputnya di Carefour Lebak Bulus untuk kembali ke rumahnya di daerah Ciputat. Saya membayangkan kebahagiaannya pada saat anak-anaknya bercerita tentang kuliah-kuliahnya dan nilai-nilai yang mereka peroleh.

Dari cerita tentang ibu-ibu di atas saya jadi berpikir apa perlu kita memiliki rencana keuangan, investasi, tabungan pendidikan dan lain-lain pada saat kita meyakini bahwa sumber rezki dan kemudahan, dan bahkan sumber dari seluruh kehidupan berasal dari Yang Maha Kuasa ya? Perusahaan asuransi adalah buatan manusia yang dapat bangkrut juga.  Saya kalau ditawarkan polis asuransi dengan jangka waktu 10 tahun suka bertanya-tanya dalam hati, mana yang lebih dulu: saya mati atau perusahaan tersebut bangkrut. Demikian pula bank juga dapat bangkrut. Bahkan pada bank yang tidak bangkrut saja uang kita bisa hilang.

Terbayang pula oleh saya ibu-ibu lainnya yang kehilangan seluruh uang simpanannya  karena ditanamkan pada reksadana Antaboga. Investasi dan tabungan yang telah kita kumpulkan dapat saja hilang dalam sekejap. Semuanya mengandung risiko dan ketidakpastian. Bukankah investasi dengan tingkat pengembalian yang tertinggi dan tanpa risiko adalah investasi untuk kehidupan kita di akhirat kelak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline