Lihat ke Halaman Asli

Emilianus Elip

Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Dermaga dan Perahu Adalah Hidup Kami

Diperbarui: 20 April 2017   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KRONIKA INDONESIA TIMUR:

"Perahu Adalah Hidup Kami"

Oleh: Emil E. Elip

Jika Anda sering bepergian ke wilayah-wilayah di Indonesia bagian Timur, dan sesekali mejelajah daerah-daerah seperti NTT, Kepulauan Ambon, Kepulauan Kei, sampai Maluku  bagian Utara, dll barulah kita sungguh menyadari dan merasakan bahwa kita adalah bangsa bahari. Semuanya tampak biru. Birunya perairan laut yang lebih luas dari daratan. Di atas hamparan laut biru yang maha luas itu, kita akan merasakan ketergantungan kita pada ada atau tidaknya “perahu” dan dermaga. Jika akses terhadap perahu sangat terbatas maka  bisa dikatakan 60% hidup masyarakat di Indonesia Timur berhenti!!

***

Pukul 6.00 pagi WIT saya sudah harus berada di dermaga Duha-Duha, sebuah pelabuhan kecil di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Pelabuhan kecil ini adalah perlabuhan untuk jalur speed-boat ke Jailol di Halmahera Barat. Sesungguhnya kalau bisa lebih pagi lebih baik sebab bisa mendapatkan speed-boat pertama atau kedua. Jika saya tiba di pelabuhan itu pukul 7.00 atau 8.00, antrian untuk dapat speed-boat sudah begitu panjang.  Matahari belum muncul. Pagi masih diselimuti kabut biru kehitam-hitaman. Antrian ternyata sudah cukup panjang, didominasi para pegawai PNS dan pedagang, anak-anak sekolah, dan lain-lain. Setelah antri sebanyak 3 speed-boat, baru saya mendapatkan giliran naik speed-boat berikutnya. “Beginilah kami setiap hari Bapak...ini kita beruntung hari tidak hujan”, kata seorang ibu disamping saya dan penumpang lain disekitar saya, seakan mereka tahu bahwa saya bukan orang  Ternate. Mungkin gesture tubuh saya dan kebingungan saya tidak bisa saya tutupi.

Saya menerawang ke hamparan pucuk-pucuk ombak biru yang naik turun cukup tinggi. Maklum saya berkesempatan bertandang ke wilayah Provinsi Maluku Utara pada Oktober 2016, bulan dimana arus dan ombak air laut cukup deras dan keras. Sesekali cipratan hempas air laut masuk ke perahu, membangunkan para penumpang yang mulai tunduk terkantuk-kantuk. Ibu disamping saya, yang ternyata seorang PNS di Pemda Kab. Halmahera Barat, sudah tertidur pulas. Nampaknya setiap hari dia harus bangun teramat pagi, mempersiapkan keperluan rumah untuk anak-anaknya, kemudian bergegas ke dermaga Duha-Duha agar datang tidak terlambat di kantornya di kota Jailolo.

***

Provinsi Maluku Utara semula merupakan Kabupaten Maluku Utara, namun kemudian menjadi Provinsi Maluku pada Oktober 1999, yang terbagi atas 8 kabupaten dan 2 kota yaitu kota Ternate dan kota Tidore Kepulaun. Provinsi ini mencakup 1.474 pulau. Hanya 89 pulau yang berpenghuni. Total jumlah penduduk 1.308.087 orang dengan kepadatan yang masih sangat longgar yaitu   32 orang/Km2. Kondisi jalan adalah sebagai berikut:  Baik sepanjang 4 km; Sedang sepanjang 56,3 km; Rusak ringan sepanjang 112,7 km; Rusak berat sepanjang 474 km; dan Belum ditembus sepanjang 310,4 km.

Sejak terjadi pemekaran itu, terjadi pula pembagian dan mutasi PNS yang disebar ke seluruh kabupaten/kota yang terbentuk akibat pemekaran provinsi. Itu sebabnya tidak sedikit PNS yang tinggal di Pulau Ternate bekerja di wilayah Kab. Halmahera Barat atau kabupaten lain, Begitu pula sebaliknya dan ini terjadi di kabupaten/kota lain juga. Arus penyebarangan para PNS ini akan kita lihat pada sore hari lagi sekitar pukul 16.00 – 18.00 di jalur yang sama.

Kehidupan perekonomian masyarakat Maluku Utara adalah pertanian dan perikanan laut. Kekayaan komoditi utama bidang pertanian antara lain Pala, Cengkeh, Kakao, dan Kelapa. Sementara masyarakat pesisir di dominasi komoditi ikan tangkap nelayan tradisional. Nampaknya supplay bahan pangan berbasis pertanian di beberapa kabupaten di provinsi tersebut tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat. Itu sebabnya beberapa kabupaten ini dinyatakan memiliki tingkat kerawanan pangan yang perlu diperhatikan. Supplay kebutuhan beberapa jenis makanan pokok seperti beras dan sayuran, ternyata harus didatangkan dari wilayah Sulawesi, Sulawesi Utara atau Suawesi Selatan. Tentu saja harga beberapa bahan makanan ini menjadi relatif cukup tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline