Lihat ke Halaman Asli

Modernisasi Sistem Pendidikan Islam

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menilik judul di atas pada tahun 2010 ini sepertinya kita harus berpikir ulang dan mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, "gerangan apa yang terjadi dengan sistem pendidikan Islam?" Apalagi dikaitkan dengan modernisasi. Sungguh menjadi pem-bicaraan yang mungkin ‘basi' bila mempertimbangkan arus global pemikiran yang sudah lama meninggalkan idiom-idiom kemoderenan, bahkan pada era reformasi sekarang ini sekali pun, pembicaraan mengenai postmodernisme atau yang sejenisnya menjadi tidak relevan lagi. Benarkah demikian adanya?

Namun demi memuaskan dahaga intelektual para pemikir muda, diskusi pendek ini dengan tema di atas akhirnya disajikan. Untuk menghindari metabasis pembahasan dan perdebatan yang mungkin timbul, perlu disepakati term-term berikut.

Berangkat dari judul di atas, maka kajian ini lebih menukik pada persoalan sistem, yang seharusnya lebih dekat pada substansi daripada aksesoris-aksesoris yang tidak jarang menyesatkan cara pandang, dalam konteks pendidikan Islam. Apapun aksesoris yang melekat pada lembaga yang dapat disebut sebagai lembaga penyelenggara pendidikan Islam harus ditanggalkan. Hal itu antara lain mencakup; seragam, nama, mekanisme pelayanan (boarding school, full-day school), dan sebagainya.

Modernisme versus Tradisionalisme

Judul di atas memberi kesan seolah selama ini sistem pendidikan Islam tidak berjalan dalam atau di atas rel kemoderenan. Dengan kata lain, masih berada dalam jalur tradisional, demikian para pemikir biasa menyandingkan secara diametral antara modern dengan tradisional.

Cara pandang diametral tersebut telah lama ditinggalkan dalam batas-batas tertentu. Namun penulis masih sepakat dengan pemaknaan tradisi sebagai amar ma'ruf. Dalam konteks inilah seharusnya menjadi titik berangkat pembahasan kita. Dalam hal ini tradisionalisme sebagai sebuah cara berpikir dan bertindak tidak dilihat dalam dirinya sendiri, melainkan dideterminasi oleh faktor-faktor eksternalnya seperti konstelasi politik, dan ekonomi. Begitu pula halnya dengan modernisme sebagai sebuah cara berpikir dan bertindak, lengkap dengan kelebihan dan kekurangnya masing-masing.

Dengan menempatkan ‘tradisi' sebagai amar ma'ruf mungkin kita akan selamat dari jebakan culture shock yang menjadi residu dari kemoderenan yang cenderung hedonis. Lihatlah anak-anak muda dan remaja kita yang gagap memaknai kemoderenan lewat gaya hidup "triple f" yaitu; food, fun, dan freedom (dalam segala hal).

Culture-shock pun kini ikut meramaikan penyelenggaraan pendidikan Islam di sini. Sehingga fun and cool-nya komunitas sekolah Al-Azhar misalnya tak dapat dijadikan parameter sampel bagi kemoderenan pendidikan Islam. Demikian halnya dengan boarding dan full-day school sebagaimana dikemukakan sebelum ini.

Contoh-contoh yang mengerubungi kita, dan terus saja mencekoki pikiran kita dengan ‘iklan-iklan' serba islami kadangkala membuat kita lelah, dan akhirnya berujar, "o, memang seperti itulah seharusnya pendidikan islam yang modern!" Kalau Anda termasuk orang yang lelah itu, sebaiknya cepat-cepat ‘bangun' dan buka mata lebar-lebar. Jangan terkecoh dengan atribut dan aksesoris. Carilah substansinya!

Kemoderenan ‘dan' Ketradisionalan

Dalam kerangka nilai-menurut penulis-kemoderenan dapat saja direpresentasikan sebagai sesuatu yang ‘baru', dan ketradisional sebagai sesuatu yang ‘lama', namun bukan sesuatu yang ‘usang'. Pergulatan antara keduanya yang sangat dialektis justru akan memberi ‘ruh' baru bagi dinamika berislam kita, sebab Islam bukanlah sesuatu yang ‘selesai'. Islam adalah sebuah dynamic movement.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline