Secara keilmuan IQ sudah kedaluarsa berganti dengan MI. Sedangkan EQ secara keilmuan hanya "packaging"-nya yang menawan. Seumumnya orang yang baru mempelajari EQ maupun SQ sertamerta langsung meremehkan IQ. Padahal ketika penggiat EQ dan SQ (baik lisan maupun tulisan) mengkritisi IQ, sebenarnya ybs sedang mengutarakan pepesan kosong. Jika mau fair, dan jujur secara ilmiah, coba para penggiat SQ dan EQ jabarkan bersama semua itu dengan MI. Itu baru ilmiah namanya. Jangan hanya mendiskreditkan IQ sambil "jualan" EQ dan SQ seraya menyembunyikan MI.
Kembali ke soal EQ dan SQ tepatkah dibaca sebagai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual? Dari mana kata kecerdasan diambil pada huruf EQ dan SQ tsb? Untuk hal yang terkait judul artikel ini, kekeliruannya adalah ketika ramai-ramai dinyatakan bahwa EQ maupun SQ adalah antitesis dari IQ. Dialektikanya demikian. Namun pada saat yang bersamaan sesungguhnya IQ sudah berubah menjadi MI. Pertanyaannya, "Apakah masih layak SQ dan EQ dinyatakan sebagai antitesis dari MI?"
Artikel ini hanya sekadar bentuk keprihatinan ketika dunia pendidikan formal kita hanya dijadikan "market" untuk sesuatu yang belum tentu nyaman dan kondusif untuk warga sekolah, terutama siswa. Ary Ginanjar dengan mengusung ESQ-nya sampai kepada DR (HC ). Namun, seyogyanya kita sebagai praktisi di dunia formal pendidikan mampu mengkritisi apakah ESQ itu memang comfortable atau tidak. Sejauh kita mau belajar, mencari tahu perkembangan keilmuan yang ada terkait "kecerdasan" manusia, justru yang comfortable dengan siswa atau anak didik kita adalah prinsip-prinsip yang dikembangkan Howard Gardner melalui risetnya terkait dengan MI.
Sekarang ini pun sedang dikembangkan pembelajaran yang mengacu kepada opti-malisasi MI seorang siswa. Untuk tingkat pendidikan pra sekolah dan SD, barangkali yang sejalan dengan MI adalah prinsip-prinsip Montessori. Filosofi pendidikan dari MI maupun prinsip Montessori adalah tidak ada anak/siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang potensi kecerdasannya belum dimaksimalkan, kecuali mereka yang secara psikofisiologis disebut sebagai potensi kecerdasannya tidak berkembang sama sekali. Ironisnya, seperti saya katakan di atas, kemasan "jualan" EQ dan SQ apalagi yang dikemas menjadi ESQ oleh Ary Ginanjar sungguh sangat menarik dibandingkan MI yang sepi promosi. Sejatinya saya ingin katakan bukan EQ, SQ maupun ESQ yang comfortable untuk anak didik kita di sekolah, melainkan MI. Ketahuilah, EQ, SQ maupun ESQ hanya comfortable untuk mereka yang tidak lagi berstatus siswa.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H