[caption caption="sumber: sarungpreneur.com"][/caption]Apa yang terjadi ketika Anda telah menyiapkan segalanya ketika masa kerja di sebuah perusahaan telah habis, tapi Anda tidak bisa ke mana-mana selain mondar-mandir di perusahan itu? Anda masih diikat oleh ketentuan-ketentuan perjanjian padahal masa kerja Anda telah habis, yang dalam bahasa KUH Perdata Anda telah mendapat daluwarsa.
Kasusnya begini. Karyawan berkata “perjanjian kerja telah habis masanya, misalnya terakhir tanggal 31 Desember 2015 (setelah kontrak 2 tahun) sesuai surat perjanjian kerja bertanda tangan kedua belah pihak.” Sementara Perusahaan berkata “perjanjian kerja sampai 30 Juni” sesuai Tata Tertib bertanda tangan, tapi tanpa tanda tangan pihak perusahaan.
Ada baiknya Anda memahami poin-poin berikut:
(1) Perusahaan wajib memberikan rangkapan (salinan) surat perjanjian kerja kepada karyawan, karena pasal 54 ayat 3, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan hal ini di mana kedua surat perjanjian memiliki kekuatan hukum yang sama.
(2) Pembaharuan atau perpanjangan perjanjian kerja wajib memuat tanda tangan para pihak sesuai pasal 21 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan yang lebih utama sesuai pasal 1320 KUHP (Kitab Undang Hukum Perdata).
(3) Selain itu dalam pasal 1947 Kitab Undang Hukum Perdata, diperbolehkan seseorang melepaskan suatu daluwarsa (masa kerja habis) yang diperolehnya.
(4) Artinya Prushaan itu salah kaprah ketika menjadikan tata tertib karyawan sebagai perjanjian kerja, karena pasal 1865 KUH Perdata mewajibkan Perusahaan membuktikannya. Bukti tertulis itu salah satunya adalah tanda tangan kedua pihak. Adapun (bea) materai dalam tata tertib karyawan tidak membuktikan perjanjian. Bea materai dikenakan pada surat tertentu untuk membuktikan perbuatan yang bersifat perdata (sesuai UU No 13 tahun 1985 tentang Bea Materai). Perjanjian tertulis menjadi sah, salah satunya jika memenuhi syarat subjektif, yaitu jika kedua pihak bersepakat (dengan bukti tanda tangan kedua pihak).
(5) Dalam pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian menjadi sah jika kedua pihak bersepakat mengikatkan dirinya. Pasal 54 ayat 1 butir i, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, mewajibkan Perusahaan untuk ikut menandatangani perjanjian kerja.
(6) Berdasarkan pasal 50 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanian kerja antara pengusaha dan pekerja, bukan karena tata tertib karyawan. Oleh karenanya perjanjian kerja yang memuat masa kerja tidak boleh diselipkan ke dalam tata tertib karyawan.
(7) Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha sehingga jika seorang karyawan dapat resign maka karyawan lain pun dapat resign setelah masa kerjanya telah habis sebagaimana tercantum dalam pasal 6, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(8) Oleh karena itu sejak awal, agar kontroversi tentang perjanjian kerja dan tata tertib karyawan ini tidak terjadi lagi, Perusahaan harus memberikan peraturan perusahaannya kepada karyawan setelah peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai pasal 108 ayat 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2004) tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Peraturan perusahaan tersebut memuat hak dan kewajiban pengusaha dan karyawan, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Ini tercantum dalam pasal 111.