Lihat ke Halaman Asli

Mahendra

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Uang: Jokowi, Prabowo Pun Tertipu Puluhan Tahun (Bag. 5)

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah diingatkan oleh Fabian bahwa hutang pokok boleh ditunda, hutang bunga tidak boleh ditunda. Pemerintah berkonsultasi dengan Fabian hingga tercetus untuk menjalankan pajak penghasilan. Masyarakat menentang sebab merugikan tapi mereka mau pilih apa? Membayar pajak atau penjara?

Akibatnya pedagang harus menaikkan harga jual barang/jasanya. Karyawan menuntut kenaikan gaji, sebagian bisnis gulung tikar, sebagaian bisnis yang lain mengganti tenaga manusia dengan mesin. Apakah ada kaitannya dengan revolusi industri? Coba lah mengecek sejarah revolusi industri di buku ensiklopedia.

Muncul masalah bagi Fabian: tarif dan lapangan pekerjaan. Fabian berakal: tarif diatur dengan Undang-Undang.

Sebagian orang tersadar untuk bertanya kegiatan produksi sebenarnya bertujuan memproduksi barang/jasa atau menyediakan lapangan pekerjaan.

Muncul pengendalian upah karyawan dan control hal-hal lainnya.

Pemerintah terpaksa mendapatkan anggaran belanja dari bermacam-macam pajak yang dikenakan kepada rakyat.

Pakar ekonomi yang duduk di pemerintahan ternyata banyak yang tidak paham akar masalah dan kemungkinan kedua sebabnya adalah kurangnya keneranian dan kekompakan untuk menentang Pemerintah.

Kebuntuan pakar ekonomi (yang tergolong orang cerdas) ada pada solusi yang ia keluarkan dari seluruh daya dan upayanya yaitu menyesuaikan biaya pajak. Tapi hakikatnya adalah makin naiknya biaya pajak. Saya jadi teringat setiap kali bayar pajak dan teman saya bayar pajak, tiap tahunnya biaya pajak kendaraan, naik.

Muncul partai politik. Mulai berselisih tentang identitas partai politik tapi tidak pernah bahas tentang akar masalah perekonomian. Mereka sekadar partisipasi atau afiliasi ke partai politik yang dikira mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sehingga bisa mempengaruhi Pemerintah.

Beberapa waktu yang lalu pun debat Capres-Cawapres tidak membahas akar masalah perekonomian. Yang dibahas bagiamna meningkatkan produksi, meningkatkan investasi (utang). Namun patut disyukuri karena Capres-Cawapres berkomitmen menjadikan pendidikan lebih berkualitas, semoga saja nanti akan bertemu dengan akar masalah perekonomian yaitu sistem (riba).

Kembali ke sejarah uang: di kota lain hutang yang harus dibayar melebihi total penerimaan pajak tahunan, hutang bunga pun makin bertambah saja. Pusing kepala Pemerintah.

Kekayaan Negara mengalir ke pundak Fabian dkk.

Masalah bagi Fabian: situasi yang belum benar-benar aman. Ada potensi jumlah orang yang kritis akan bertambah berikut dengan komunitasnya. Zaman kelihatan berkembang dengan macam-macam alat komunikasi yang memudahkan orang-orang berkomunitas.

Maka Fabian membeli kepemilikan Pers (bermacam genre Koran, televisi, radio dan yang sejenis).

Maka terhadap orang yang menentang Fabian dihadapi dengan: (1) diejek secara publik, rakyat ikut-ikutan mengejek karena opini rakyat sudah digiring Fabian, (2) ditekan secara finansial.

Fabian pun menyeleksi siapa saja yang boleh bekerja di Pers itu (mereka adalah orang baik tapi relatif mudah diperalat atau ditipu).

Muncul keinginan menguasai kemanusiaan pada diri Fabian dkk dan mungkin mulai lah ide rasisme muncul ke permukaan. Fabian dkk menganggap golongan mereka lah yang superior: “Mengatur adalah takdir kami.”

Secara de jure beragam bisnis simpan-pinjam itu bersaing tapi secara de facto justru mereka saling bekerja sama. Hakikatnya adalah untuk menipu jutaan orang di dunia ini.

Institusi Bank Central didirikan. Jabatan penting di Bank Central diisi oleh kolega (loyalis) Fabianbukan Pemerintah. Dampaknya, di mata masyarakat Pemerintah lah yang mensuplai uang.

Mulai penerbitan surat hutang ke Bank Central. Tantu berthutang pakai jaminan berupa pendapatan pajak tahun depan. Negara makin berhutang saja.

Jadi secara tidak langsung Fabian dkk lah yang menguasai perdagangan suatu bangsa. Dia pula lah yang menyetir roda pemerintahan. Sebab pemerintah tersandera oleh hutang bunga, apatah lagi hutang pokok. Sekali lagi, hutang itu tidak akan pernah bisa dilunasi karena ia tidak eksis.

Seharusnya digunakan sesuatu yang substansif sebagai alat bayar maupun alat tukar. Misalnya emas.

Agaknya ada kaitan dengan ajaran geopolitik yang saya lupa pencetusnya siapa. Teorinya seingat saya barang siapa menguasai lautan maka akan menguasai perdagangan. Siapa yang mengusasai perdagangan berarti menguasai kekayaan dunia. Siapa yang menguasai kekayaan dunia sama saja menguasai dunia.

Ada lagi yang kritis: bunga kok tambah sulit dibayar apalagi hutang pokok?

Para kritikus tergolong orang cerdas. Jumlah orang cerdas sedikit, dann lebih sedikit lagi orang yang berani.

Ada yang kritis: “kok uang jadi tuan, bukankah seharusnya uang sebagai pelayan sebab ia diciptakan manusia?”

Jumlah orang kritis makin berkurang berikut dengan kualitasnya akibat tekanan dari Fabian dkk. Sebagian orang kritis tersingkirkan. Anehnya sebagain besar rakyat tetap tidak peduli mungkin karena dua hal: (1) pendidikan belum maju, (2) pikirannya dikendalikan lewat Pers (media), apatah lagi Pers diisi oleh pakar-pakar yang sebenarnya merupakan loyalis Fabian dkk.

Kemudian sebagian rakyat tak sanggup bayar hutang. Di sisi lain kebijakan Pemerintah dikendalikan Fabian dkk atau dikendalikan oleh generasi/keturunan Fabian dkk.

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline