Lihat ke Halaman Asli

Mahendra

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Presiden Kita Gundulin Kepalanya Sendiri?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budi Gunawan Calon Tunggal Kapolri (image source:kompas.com)

Komisaris Jenderal Budi Gunawan Calon Tunggal Kapolri (image source:kompas.com)

Apa jadinya kalauseseorang baru menyadari bahwa rambut di kepalanya tiba-tiba habis tak tersisa? Seperti mimpi (bunga tidur) yang dicatat dalam dunia ilmu pengetahuan yakni ada kalanya seseorang bermimpi sedang bercermin kemudian terkejut melihat giginya hilang, tak tersisa sedikit pun. Seperti itulah mungkin yang dihadapi presiden Jokowi.

Presiden dengan revolusi mentalnya (melawan korupsi) harus berhadapan dengan peluang terbuktinya calon kapolri sebagai koruptor. Dua hal ini seperti kutub utara dan selatan pada satu magnet batang yang tidak akan pernah bertemu dan karenanya akan sangat memalukan kalau memaksa diri dan berlagak tak bersalah. Bagaimana tidak salah? Presiden tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam urusan calon Kapolri.

Revolusi selalu meminta tumbal kematian, simak saja revolusi di Inggris, Perancis, Rusia, China dan lain-lain. Itu menunjukkan dorongan power yang terlihat sebagai air bah yang menjebol bendungan raksasa. Maka revolusi mental yang disodorkan jokowi menjadi sekedar kertas yang gampang terbakar, lenyap setelah berkeping-keping dihembus angin.

Seperti itulah kiranya sebuah nada bagi isu yang mengitari calon Kapolri. Sah saja muncul hipotesis bahwa isu tentang ditetapkannya calon tunggal kapolri menjadi tersangka akan membooming. Mulai dari dunia sebab sampai dunia akibat akan dibooming dengan sengaja maupun tak sengaja.

Muncul pula asumsi bahwa badan politik dari sisi ultrastruktur seperti media komunikasi, partai politik, kelompok kepentingan (LSM), tokoh politik, bahkan mungkin badan politik dari sisi infrastruktur seperti Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif mencekal presiden.

Semuanya terjerumus dalam paham reaksionisme. Akan terulang oposisi mencekal dan suatu saat nanti oposisi yang dicekal. Lalu apa enak hidup dalam paham reaksionisme yang demikian itu?

Muncul sebuah pandangan, bahwa dalam tataran pertempuran adu pengaruh (sisi politik) di media massa yang menjadi senjata oposisi ataupun yang bukan oposisi, tentu saja yang jadi korban adalah orang awam. Jadi jangan heran kalau suatu saat nanti masyarakat jadi abai terhadap pertempuran tersebut.

Namun bagi pandangan yang lain, adalah sah saja media massa menyiarkan berita. Sah saja terkesan provokatif selama hal tersebut adalah aktual. Bagi pandangan yang lain lagi, adalah presiden cukup mengakui kesalahannya, kemudia dengan sendirinya publik menyadari tidak ada yang tidak luput dari kesalahan.

"Penyelidikan" yang dilakukan oleh KPK, mungkin naik dan menjadi “penyidikan” yakni mencari dan mengumpulkan bukti sehingga tindak pidana menjadi terang. Sudah diketahui publik, calon Kapolri Budi Gunawan disangkakan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Ternyata masih ada peluang kebenaran, terlepas dari gemerlapnya paham reaksionisme yang banyak, diantaranya dugaan: (1) Ketua KPK balas dendam kepada Presiden karena tak dijadikan wakilnya dalam PILPRES (2) transaksi politik sehingga KPK dibacking sekuat tenaga oleh oposisi (3) kebodohan jokowi dikurungan Megawati, Surya Paloh, dan tokoh lainnya. Ditegaskan, masih ada jalan, proses hukum akan membuktikan mana yang benar dan mana yang salah dengan segenap partisipasi berbagai elemen baik infrastruktuf dan ultrastruktur politik yang membangun sistem politik kita.

Mari berkolaborasi, karena memang kolaborasi adalah tuntutan setiap zaman! Oleh karena itu peristiwa ini bukan dijadikan alasan untuk mengutuk politik, seperti sejumlah akademisi yang sok tahu dan sok memiliki dunia ini yang berkoar-koar dalam level reaksionisme. Mungkin, sebenarnya mereka inilah yang patut dicekal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline