Lihat ke Halaman Asli

Em Fardhan

Penulis

Bahagia

Diperbarui: 18 Desember 2022   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah ketika kita mampu mempunyai barang-barang yang kita inginkan, prestasi yang kita impikan, dan pencapaian yang tlah kita perjuangkan, lantas kita akan bahagia? Belum tentu, bisa jadi itu hanya rasa puas dan bangga.

Cermati saja, segala kesenangan yang terhampar di dunia ini pasti ada batasnya. Makan enak kalau sudah kenyang ya sudah. Mempunyai barang yang bagus kalau sudah punya ya sudah. Seks pun begitu. Kalau sudah anu ya sudah. Jadi apa itu kebahagiaan? Sedangkan kebahagiaan seharusnya terus abadi.

Kebahagiaan adalah kondisi hati. Ada di sini, dalam hati ini, bukan sesuatu yang jauh di luar sana. Tak ada urusan kaya miskin sebenarnya. Terdengar tak realistis tapi bukankah kita bisa melihat betapa banyak orang kaya yang tak bahagia dan melihat orang yang tak kaya bisa begitu menikmati hidupnya. Kekayaan hanya salah satu pendukung, bukan penentu.

Saat susah tak terlarut dan pasrah, saat senang tak terlena dalam efuoria yang membuat tak seimbang. Berjarak dengan perasaan dan pikiran membuat kita bisa membaca bahwa itu semua bisa berubah-ubah. Hidup yang meditatif.

Amati saja dan terima. Susah terima, senang terima. Tak terikat lagi dengan rangka dan suasana. Karena susah senang adalah sudah hukum alam yang akan terus berkelindan tak bisa terbantahkan. Kita akan terus menderita jika tak mengetahu realitas ini.

Kondisi hati yang sudah mau menerima apapun segala kondisinya. Inilah yang disebut bahagia. Hati yang sudah selesai, tidak lagi terjebak di dualitas Hitam-Putih yang semu belaka.

Mungkin ada pertanyaan begini, "Kalau bahagia itu tak ada urusan kaya dan miskin, lalu buat apa menjadi kaya. Toh miskin sudah bisa bahagia. Tak usah susah payah agar menjadi kaya kalau begitu?"

Pemikiran yang kurang tepat.

Saat miskin mungkin kita bisa bahagia, asal kita bisa menerima, tetapi apakah orang miskin bisa membantu orang lain? Susah. Sebab ia terbatas, sedangkan orang kaya bisa mempunyai kesempatan untuk berbuat lebih banyak dengan uangnya. Masalahnya bukan bahagia dan tidak bahagia, tetapi sejauh mana bisa memberi dan bermanfaat bagi sesama.

Dan ketika kita mampu membawa manfaat kepada orang banyak, kebahagiaan di hati akan menjadi berkali-kali lipat.

Kalau kita sudah berusaha sekuat tenaga tetap tak bisa kaya ya sudah terima. Sekali lagi terima. Terima di sini bukan pasrah yang bongkokan. Menerima ini agar kita tetap bisa bahagia meskipun belum kaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline