Andaikan Sigmund Freud, tokoh aliran Psikoanalisis dalam psikologi, masih hidup dan datang ke Indonesia, bingunglah dia. Bukan karena nilai tukar rupiah yang kian melemah, bukan karena UU yang kontroversial, bukan pula karena pembebasan Abu Bakar Ba'asyir; melainkan karena di tengah wabah ini masih banyak warga yang tidak mengindahkan himbauan dan ajakan untuk menjaga kesehatan, khususnya protokol kesehatan COVID-19.
Entah berapa banyak pertanyaan yang akan muncul di kepalanya. Teorinya seolah dipatahkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, membuat dirinya perlu mengkaji ulang gagasannya.
Teori yang ia perkenalkan sebagai kecemasan realitas itu bicara mengenai kecemasan yang bersumber dari adanya rasa takut sebagai suatu mekanisme pertahanan hidup dasar. Takut ini terjadi sebagai respon terhadap suatu hal atau kejadian tertentu, contohnya rasa sakit atau ancaman bahaya. Kenyataannya, teori ini seolah tidak berlaku di Indonesia.
Di Indonesia kasus positif bertambah terus, bahkan sudah menyentuh angka 800.000-an, tapi tetap saja ada banyak warga yang bandel. Pandemi rancangan elit global lah, virus tidak berbahaya lah, vaksin dipasangi chip lah, tidak mau pakai masker, menolak di tes lah, adalah beberapa dari sekian banyaknya persepsi dan perilaku masyarakat beberapa bulan ke belakang.
Padahal menurut Freud, manusia sewajarnya melakukan berbagai upaya untuk bisa menjauh dari apa saja yang mengancamnya. Dia juga menyebutkan bahwa manusia secara otomatis akan selalu mencari kesenangan dan kebahagiaan, sehingga kematian dan rasa sakit, yang salah satunya diakibatkan oleh virus, dapat merenggut kesenangan tersebut.
Berdasarkan pandangan ini, respon otomatis masyarakat Indonesia menghadapi ancaman virus seharusnya adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang menjaga kekebalan tubuh dan mengurangi potensi dirinya tertular. Namun ternyata tidak seperti itu.
Sejak awal, saat kabar COVID-19 menyebar ke beberapa negara merebak, banyak orang masih santai saja. Setelah itu, kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia merebak, banyak orang masih santai saja. Bahkan ketika korban terus bertambah, berita-berita menyiarkan jumlah orang meninggal dan terjangkit membludak, banyak orang masih santai juga. Hal ini kemudian menyebabkan protokol kesehatan dan himbauan lainnya dipinggirkan.
Contohnya, dilansir dari Kompas.tv, di Jakarta yang telah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari 10 April 2020 lalu, jalanan dan transportasi umumnya masih saja ramai. Bahkan, belakangan ada kasus yang menggemparkan negara ini, yaitu ada artis yang setelah disuntik vaksin malah party dengan mengumpulkan massa.
Sekarang, berbagai pemberitaan bertambahnya kasus COVID-19 masih saja masif. Seharusnya ini menjadi stimulus untuk mengarahkan masyarakat bereaksi, melaksanakan imbauan yang selama ini masih diabaikan. Namun nyatanya tidak demikian, makin ke sini masyarakat justru makin tidak peduli. Fakta telah membelakangi Freud. Bingunglah dia. Bagaimana agar dapat memahami sebagian manusia Indonesia?
Perilaku Sebagai Manifestasi Pikiran
Pandangan dan contoh Freud tentang kecemasan pada realita yang berimplikasi pada tindakan tersebut nampaknya kurang memperhatikan manusia Indonesia yang telah "dibentuk" sedemikian rupa oleh berbagai hal. Ideologi, lingkungan, kebudayaan, keluarga, agama, media; semuanya membentuk manusia-manusia di Indonesia.
Pertama, virus ini adalah musuh tidak terlihat dan nampaknya masyarakat "terlampau kritis" untuk bisa percaya begitu saja. Apa perlu negara membagi-bagikan mikroskop ke seluruh warga agar kita semua bisa melihat langsung virus corona? Apakah memang orang bisa lebih mudah percaya dengan keberadaan makhluk-makhluk tak kasat mata dibandingkan pada virus?