Lihat ke Halaman Asli

Orbafobia di Balik Demo Omnibus Law

Diperbarui: 16 Januari 2021   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180520211210-22-299814/foto-panas-gelombang-reformasi-20-tahun-lalu

Upaya menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja, yang kemudian diubah namanya menjadi Cipta Kerja, seolah tidak pernah absen sepanjang tahun 2020 lalu. Mulai dari forum diskusi hingga demonstrasi terus digalakkan di berbagai penjuru Indonesia. Fenomena ini bisa dipahami tentang betapa kritis dan reaktifnya masyarakat Indonesia pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Alasannya ada dua. Pertama, karena ini menyangkut ekonomi dan kepentingan. Kedua, karena menurut nalar orang-orang beberapa pasal di dalam UU ini bisa merugikan berbagai pihak.

Penolakan UU ini datang dari berbagai pihak. Dilansir dari Tirto.id, RUU Cipta Kerja dinilai berbagai pihak akan merugikan rakyat Indonesia, terutama buruh atau pekerja, merusak lingkungan hidup, mengabaikan HAM, dan lain sebagainya. Sehingga berbagai pihak dari kaum buruh hingga kaum intelektual individu dan kelompok yang tergerak dengan gigihnya melancarkan upaya-upaya untuk menghadang UU ini disahkan.

Contohnya, dilansir dari Lembaga Pers Mahsiswa (LPM) Psikologi Jurnalistik, pada 11 Maret 2020 lalu terjadi aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja ini di Semarang, Jawa Tengah. Koordinator lapangan aksi menyebutkan bahwa ternyata buruh pun mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan kampus yang kemudian dijadikan sebagai 'kekuatan' demo tersebut. 

Tidak selesai di situ, pasca UU ini disahkan pun demonstrasi pecah di berbagai daerah bulan Oktober 2020 lalu. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus dan masyarakat turut menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah karena kebijakan tersebut. Jadi, apa yang sebenarnya melatarbelakangi ini semua?

Sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu diluruskan bahwa di sini tidak akan ada kesimpulan bahwa demo salah dan Omnibus Law benar, ataupun sebaliknya, melainkan lebih kepada membaca kondisi psikologis dan sosiologis dari fenomena ini saja.

Fobia dalam Mosi Tidak Percaya   

Dilansir dari Tirto.id, pada tahun 2010 seruan mosi tidak percaya juga menerpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemicunya adalah skandal Bank Century yang menggemparkan negeri ini. Artinya, kebiasaan masyarakat Indonesia mengeluarkan mosi tidak percaya ini sudah bertahan setidaknya sejak 10 tahun lalu. Tujuannya adalah untuk menyatakan ketidaksetujuan dan melawan suatu kebijakan.

Ketidakpercayaan pada kebijakan tersebut menurut saya salah satunya disebabkan pengalaman buruk masyarakat di masa lalu. Tiap negara pasti punya masa kelamnya sendiri, oleh karenanya tiap masyarakat punya ketakutannya sendiri. Dalam sejarah Indonesia, masa kelam yang menimbulkan ketakutan berskala nasional terbesar adalah G30S PKI dan pemerintahan orde baru alias Orba, era presiden Soeharto.

Bisa kita amati ada ketakutan besar masyarakat pada dua hal ini. Pertama ketakutan PKI bangkit, kedua ketakutan Orba terulang kembali. Contohnya, setiap kali menjelang kontestasi politik di Indonesia isu 'keluarga PKI' dan kekejaman organisasi ini selalu digaungkan untuk merusak citra salah satu pihak. Contoh lain adalah tiap lahir kebijakan yang merugikan, masyarakat akan cenderung menyamakannya dengan orba. Pasti. 

Bila ditinjau dari sisi pikologi, pengalaman buruk masa lalu yang membentuk fobia bukan hanya didapati pada individu saja, namun bisa juga pada kelompok-kelompok. Peristiwa buruk yang kemudian menyisakan ketakutan atau ketidaknyamanan pada kelompok tertentu bisa juga menimbulkan fobia yang sifatnya kolektif, salah satunya pada kelompok masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline