Haikal Hassan alias Babe Haikal mengaku bermimpi bertemu Rasulullah SAW pada 9 Desember 2020. Tak lama berselang, ada orang yang melaporkannya ke polisi atas pengakuan tersebut. Polda Metro Jaya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Babe Haikal terkait cerita mimpinya tersebut pada Rabu 23 Desember 2020.
Orang yang melaporkannya adalah Sekretaris Jenderal Forum Pejuang Islam, Husein Shihab. Laporan itu dia layangkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan menyebar berita bohong. Husein menilai cerita mimpi Babe Haikal cukup berbahaya karena diyakini bisa menggiring opini masyarakat.
Masalah ini seolah bukan yang pertama di Indonesia. Menilik kembali awal tahun 2020 ini Indonesia juga dihebohkan dengan kasus munculnya raja-raja baru. Diantaranya adalah Totok dari Keraton Agung Sejagat dan Rangga dari Sunda Empire. Para petinggi kerajaan fiktif ini dipolisikan karena dianggap melakukan penipuan, penyebaran berita bohong, dan pencemaran nama baik.
Masalah Babe dan kerajaan-kerajaan ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Secara sosiologis, kejadian-kejadian ini punya pola kesamaan. Kesamaan pertama adalah keyakinan atau kejadian yang dianggap suatu kebohongan oleh kelompok tertentu. Kedua, kasus ini juga dipermasalahkan karena dianggap mengganggu stabilitas suatu kelompok atau organisasi.
Babe Haikal dilaporkan karena dia menceritakan mimpinya saat pemakaman anggota FPI yang jadi korban tembakan aparat, padahal saat ini FPI dianggap sebagai musuh negara. Coba kalau cerita itu keluar tidak di saat seperti ini, tentu tidak akan diperkarakan. Sementara itu, para petinggi kerajaan fiktif dilaporkan karena dianggap meresahkan masyarakat sekitar.
Dampak Perkembangan Logika
Secara kultural ini membuktikan kemungkinan mengarahnya Indonesia pada stagnasi kebudayaan. Padahal sejak dulu pun tidak sedikit berkembang cerita yang kalau disampaikan di zaman sekarang bisa dianggap sebagai berita bohong. Bahkan boleh dibilang mayoritas awal kemunculan suatu kepercayaan adalah dari cerita yang sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
Salah satu contohnya adalah mitos batu berbentuk jejak kaki yang dianggap bekas kaki tokoh wayang Bima Sena di Yogyakarta. Di Gunung Kidul, batu yang dianggap bekas jejak kaki Bima tersebut dikeramatkan oleh warga sekitar. Alih-alih diamankan polisi, batu ini malah dijaga oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Ini menandakan adanya peningkatan ketajaman dan daya kritis logika masyarakat di era digital. Indonesia yang turut terseret dalam derasnya arus kapitalisme tidak bisa menolak masuknya teknologi dan akhirnya sirkulasi informasi semakin baik. Dari sini cara pikir masyarakat pun semakin terbentuk, yaitu mendasarkan segala sesuatu pada kebenaran empiris atau bisa dibuktikan.
Meski demikian, perlu kita akui juga bahwa ini bisa jadi penanda awalnya stagnasi kebudayaan di Indonesia. Melaporkan orang ke polisi hanya karena ceritanya bisa menunjukkan ketidakterbukaan masyarakat Indonesia pada sesuatu yang baru, entah itu agama ataupun kebudayaan. Dengan kata lain, legenda dan sistem kepercayaan baru akan sangat sulit tumbuh di sini.
Kurang Holistiknya Pandangan