Lihat ke Halaman Asli

Ekmal Medan

Freelance Writer, Suka Motret dan Rebahan

SKK Migas dan Separatisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14286717541851179132

SIANG itu, saya menyusuri jalur pipa raksasa yang gagah berkelok-kelok di pedalaman Aceh Timur. Pipa penyalur minyak bumi dan gas itu membelah sawah dan perkampungan. Di jalanan kampung yang belum di aspal, sesekali kami berpapasan dengan beberapa truk berat milik perusahaan minyak milik asing. Jelang zuhur tibalah saya di kampung terdekat, disambut puluhan rumah berdinding tepas (bambu.red) dan beratap rumbia. Pemandangan sangat kontras dengan pipa-pipa menyedot dollar sebelumnya.

Itulah sekelumit pemandangan yang saya saksikan langsung sekitar tahun 2001. Ketika Bumi  Serambi Mekkah masih bergolak dan semangat separatisme begitu berkobar-kobar di dada  tiap putra putri Aceh. Saya menyaksikan kemiskinan di atas bumi yang kaya. Merekam wajah-wajah kecewa di tengah lautan minyak yang mempesona.

“Kita hanya jadi penonton bang,” ujar Firman, seorang mahasiswa perguruan tinggi di Lhokseumawe yang menemani liputan saya.

Dengan aksen Aceh yang khas, Firman banyak bertutur tentang ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Aceh. Tentang minyak bumi yang justru tidak meneteskan kemakmuran bagi mereka.  Tentang sulitnya pemuda pemudi Aceh memperoleh pekerjaan di perusahaan-perusahaan minyak dan gas itu, meski hanya sebagai buruh-buruh kasar. Kekayaan yang membawa kesengsaraan.

Saya tidak akan mengungkit ketimpangan di atas. Apalagi setelah bencana tsunami, gerakan separatis Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia sama-sama mengendorkan ego mereka. Mencari titik temu, dan berdamai demi kemaslahatan warga Aceh Darussalam. Allah SWT sudah turun tangan mendamaikan sengketa panjang nan melelahkan ini.

Namun selalu ada hikmah yang bisa dijadikan pelajaran. Semangat pemberontakan dan separatisme itu seiring sejalan dengan ketidakadilan. Kekayaan alam harus diakui sejak zaman Winnetou kerap melahirkan derita bagi masyarakat setempat. Kutukan limpahan minyak bumi, emas, perak, uranium dan barang tambang lain seolah terus terulang di berbagai penjuru bumi. Tidak hanya di masyarakat suku Apache, tapi juga di Aceh seperti yang dialami rekan saya Firman di atas. Atau di Papua, mungkin juga Riau dan daerah kaya sumber daya alam lain di Indonesia.

Dan jika disimak setelah tsunami, pemerintah semakin bijak menyikapi isu ketidakadilan di berbagai daerah kaya sumber daya alam.  Setidaknya hal ini dibuktikan, dengan terus meningkatnya jumlah tenaga kerja lokal di sektor migas (minyak bumi dan gas). Menurut catatan SKK Migas kenaikan serapan tenaga lokal terus terjadi sejak tahun 2006 hingga sekarang.

[caption id="attachment_360142" align="aligncenter" width="490" caption="Kegiatan Usaha Hulu Migas. Foto: SKK Migas"][/caption]

Kenaikan terutama terjadi di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pemerintah melalui SKK Migas terus membangun kepercayaan (trust) dari masyarakat setempat. Harus diakui aktivitas di industri hulu migas jadi ujung tombak mewujudkan kepercayaan dan keadilan itu.  Tertampungnya ribuan tenaga kerja lokal, dan terbukanya peluang bagi industri jasa pendukung bagi kegiatan eksplorasi migas jelas bisa memadamkan gejolak ketidakpuasan yang kerap mengiringi aktifitas pertambangan. Jangan biarkan warga lokal hanya menonton. Win win solution!

[caption id="attachment_360143" align="aligncenter" width="458" caption="Warga jangan cuma jadi penonton. Foto: http://www.infoblora.com/"]

14286723071800435479

[/caption]

Sejak dibentuk tahun 2013 menggantikan BP Migas, SKK Migas  harus diakui berhasil mengelola kegiatan hulu migas. Keterlibatan tenaga-tenaga lokal dan dalam negeri terus meningkat, hingga tahun 2012 menurut website SKK Migas sector hulu telah menyerap lebih kurang 25 ribu tenaga kerja dalam negeri. Di sisi lain ada lonjakan partisipasi kontraktor lokal dalam industri jasa pendukung. Hal yang 15 tahun lalu bahkan sangat mewah bagi masyarakat sekitar lahan eksplorasi dan pusat SDA.

Melibatkan  masyarakat setempat sebagai tenaga kerja maupun industri dan jasa di  sector hulu migas, sangat positif bagi kelangsungan hidup perusahaan bersangkutan. Saling percaya, akan membuat proses eksplorasi berjalan lancar dan memberikan hasil optimal. Investasi hulu migas yang nilainya mencapai Rp 300 triliun jelas akan berdampak dahsyat jika SKK Migas sukses merangkul semua entitas lokal. Roda ekonomi berjalan, menciptakan efek berantai yang berujung meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Sukses inilah, yang harus dibawa ke SCMSUMMIT dan dijadikan model ke depan.

Membangun trust  harus menjadi semangat bersama pengelolaan sumber daya alam, terutama oleh Kementerian ESDM, SKK Migas, dan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Keberhasilan membangun kepercayaan dan partipasi bersama inilah yang menurut saya bisa jadi peredam gejolak bahkan semangat separatisme. SKK Migas, karenanya sangat strategis menjalankan  misi ini sekaligus menjaga nasionalisme, menjaga keutuhan negeri. Apalagi, 9 dari 10 pengelola sector hulu ini ternyata dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Conoco, Petro China, Chevron, Total, dan sebagainya. Membuat peran SKK Migas tidak melulu di sisi ekonomi tapi juga menjaga ideologi!(*)

14286723762122922110

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline