Lihat ke Halaman Asli

Ema Safitri

mahasiswi

Sistem Politik Islam pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

Diperbarui: 15 Desember 2023   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sistem Politik Islam Orde Lama

Setiap negara memiliki sistem politik tertentu, termasuk Indonesia. Sistem politik bagi setiap bangsa merupakan “urat nadi” yang menjadi saluran darah bagi kelanjutan kehidupan bangsa dan negara yang sehat dan sejahtera. Politik ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses politik, hubungan internasional, dan tata pemerintahan.  (Shadily, 1984).

Berakhirnya era demokrasi liberal setelah keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959 menandai dimulainya era baru politik Indonesia yang dikenal dengan era Demokrasi Terpimpin. Masa ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai politik Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi pemimpin mutlak di Indonesia memaksa membubarkan Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan tanggapan dari kelompok partai Islam (Kamsi, 2013).

Ahmad Syafi’i Maarif membagi masa Demokrasi Terpimpin sampai dengan tahun September 1965, menjadi periode proses penegasan (hingga Desember 1960) dan periode persatuan (sehingga pecahnya pemberontakan G-30 S/PKI 1965). Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan penentang terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sedangkan periode kerja sama ditandai dengan kerja sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk komunis yang merupakan salah satu pilar demokrasi. (Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2010).

Pada masa Orde Lama, terdapat dua partai politik Islam yang tergolong besar pendukungnya, yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua partai besar ini berbeda pendapat mengenai demokrasi terpimpi Soekarno. Jika Masyumi menentang demokrasi terpimpin yang dianggapnya sebagai suatu rezim, maka NU akan mendukungnya demi “keselamatan umat”. Perjuangan antara Islam (Masyumi) dengan kekuasaan di masa Orde Lama sangatlah keras dan rumit. Saat itu, Islam merupakan kekuatan riil yang besar, disamping beberapa komunitas lainnya semisal kelompok nasionalis (PNI), kelompok sosialis (PSI) dan kelompok komunis (PKI). 

Untuk mempersatukan berbagai anggota, Soekarno mengungkapkan ide Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Obsesi untuk menyatukan berbagai kelompok tersebut dalam Nasakom mungkin merupakan ide yang bagus, namun ada juga yang menentang, misalnya Masyumi. Konsep nasakomnya Soekarno mungkin bagus dan berhasil secara teoritis, tapi dalam praktiknya tidak semudah yang diduga. Ada kendala-kendala lapangan yang tidak mudah diatasi (Wahid, 2004).

Tokoh-tokoh Masyumi sangat menentang ide Nasakom Soekarno, seperti Syafruddin Prawiranegara dan khususnya Mohammad Natsir. Natsir memegang suatu prinsip bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Bagi Natsir peran pemerintahan merupakan bagian penting dari dakwah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosio-politik umat, salah satu prinsip-prinsip yang harus dijaga dan dihormati, menurut Natsir, adalah prinsip syura. Natsir pada prinsipnya menginginkan pemerintahan dari pada hukum-hukum Allah atau syariat Islam, namun tidak menjelaskan secara meyakinkan. Berakhirnya Puncak pertentangan antara Soekarno yang nasionalis-sekuler dengan Natsir, yaitu dengan dibubarkannya Masyumi dan memenjarakan Natsir termasuk juga Prawiranegara pada Tahun 1960. (Ahmad Suhelmi, 2002).

Perlu diketahui, pada masa orde lama pernah terjadi gerakan pembentukan islam yang sebenarnya, yaitu gerakan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo yang berlangsung pada tahun 1948 sampai 1962. Dalam tahun 1950, gerakan ini mendapat dukungan dari Jawa maupun luar Jawa. Dari luar Jawa, dukungan datang dari Aceh dan Sulawesi. Tahun 1951 dari Jawa, dukungan datang dari batalion 426 yang mempunyai pengalaman bertarung dengan partai komunis pada masa perang gerilya, serta didukung pula oleh segolongan masyarakat di daerah selatan Jawa Tengah (Kuntowijoyo, 1998).

Sistem Politik Islam Orde Baru

Dengan munaculnya pemerintanh Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, politik Indonesia terlihat jelas semakin menjadi satu arah namun cukup ambigu. Begitu pula, ketika Soeharto menyampaikan gagasan bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas bagi seluruh gerakan sosial dan politik di Indonesia (Ruslan, 2019).

Orde Baru berusaha mengambil jalan tengah dengan menciptakan negara yang bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler neither secular nor theocracy. Sehingga ada yang berpendapat bahwa negara Indonesia adalah “negara sekuler yang malu-malu” (Hidayat, 2003). Selain model pemerintahan Orde Baru yang sekuler, terdapat enam ideologi politik islam yang berbeda pada saat itu, seperti yang dijelaskan oleh  M. Syafi‟i Anwar, yaitu:

  • Tipologi formalistik, yaitu suatu pola pemikiran yang mengutamakan peneguhan dan ketaatan yang ketat pada format-format ajaran Islam. Bentuknya bisa berupa negara Islam, partai Islam, masyarakat politik Islam, kebudayan Islam dan lainnya. Masuk dalam analisi ini yaitu Amien Rais, A. M. Saefuddin dan Jalaluddin Rakhmat. Mungkin di sini perlu dipertanyakan jika Amien Rais berpikir formal, sebab Amien menolak konsep negara Islam. Bahkan ia menuliskan idenya tentang penolakan negara Islam pada tahun 1982 dengan judul yang tegas: Tidak Ada Negara Islam.
  • Pemikiran substantivistik, yaitu pemikiran yang beranggapan bahwa substansi atau makna keimanan dan ibadah lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks AlQuran. Sementara pesan-pesan Al-Quran dan Hadits yang mengandung dasar abadi dan seluruh, ditafsirkan kembali berdasarkan runtut dan rentang waktu generasi Muslim serta mengkontekstualisasikannya dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.
  • Pemikiran transformatik, yaitu model pemikiran yang berpandangan bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi motivator dan perubahan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam bentuk besar yang bersifat praksis maupun teoretis. Perhatian utamanya lebih ditekankan pada pemecahan masalah-masalah empirik dalam bidang sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, dan berorientasi pada keadilan sosial.
  • Pemikiran totalistik, yakni bentuk pemikiran yang beranggapan bahwa ajaran Islam bersifat kaffah, serta mengandung wawasan, nilai, dan petunjuk yang bersifat kekal dan bersifat umum yang meliputi semua bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta melingkupi segi-segi, baik individual, kolektif, maupun masyarakat kemanusiaan umumnya.
  • Tipe idealistik, yaitu suatu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat yang berorientasi pada tahapan menuju “Islam cita-cita” (Islam ideal). Islam contoh di sini adalah Islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran dan Sunnah yang dipercaya, tetapi belum tentu tercermin dalam tingkah laku sosio-politik umat Islam dalam realitas sejarah mereka.
  • Realisme, yaitu cara berpikir yang berusaha melihat keterkaitan atau melakukan penghadapan antara dimensi substantif dari ajaran ataupun doktrin-doktrin agama, dengan konteks sosio-kultural masyarakat pemeluknya. Islam harus berjuang dengan berbagai corak budaya masyarakat sehingga terjadilah keragaman manifestasi Islam walaupun mulanya didasarkan pada keutuhan dan keabsahan ajaran Islam itu sendiri (Murod, 1999).
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline