[caption id="attachment_259890" align="alignleft" width="300" caption="Cover buku "][/caption]
Ya, kaki mereka menjejak bumi, mata dan hati nurani mereka menyoroti dunia sekeliling lalu melakukan yang bisa mereka lakukan. Mungkin ini mirip-mirip dengan blusukan.
Kian mudah menjadi penulis buku. Itu yang terjadi saat ini, dan itu pula yang terjadi pada saya. Saya baru saja menerbitkan buku berjudul Orang-Orang HEBAT dengan subjudul Dari Mata Kaki ke Mata Hati. Buku terbitan “Penerbit Altheras” ini berisi kumpulan feature profile yang saya pernah tulis koran. Ada dua puluh buah sosok di dalamnya. Delapan belas di antaranya pernah dimuat di harian The Jakarta Post, satu di Pos Kupang dan satu lagi di majalah mingguan HIDUP.
Ketika membuat tulisan-tulisan tersebut, saya tidak pernah berproyeksi akan menjadikan buku. Proses berjalan begitu saja seperti proses kerja menulis pada umumnya. Dalam proses selanjutnya saya melihat benang merah di antara tokoh-tokoh yang saya tulis itu. Ternyata ada “getaran” yang sama dalam hidup dan karier mereka. Nilai “man/woman for others” sangat kuat. Mereka—dalam keterbatasan dan kelebihan—selalu berusaha menjadi “sesama” bagi sesama. Bahasa “Jawa Kunonya” homo homini res sacra bukan homo homini lupus. Ya, para tokoh tersebut tidak melulu memandang diri dan kepentingan pribadi, tapi mau keluar dari diri sendiri untuk berkarya bagi orang lain.
Nilai itulah yang saya amati terdapat dalam diri Franky Welrang (bos Indofood), Honardy Boentario (pengusaha pertambangan), Andre Graff (warga negara Prancis yang menjadi penggali sumur air bagi masyarakat di Sumba, NTT), Dewa Budjana (gitaris GIGI), Romo Franz Magnis-Suseno (guru besar filsafat dan ahli etika Jawa), Gerson Poyk (sastrawan senior yang selalu gelisah), Jansen Sinamo (guru etos), Romo Vincentius Kirdjito (peraih Maarif Award), Antie Solaiman (pekerja sosial di Papua), St. Kartono (guru dan kolumnis), Agust Dapa Loka (guru dan novelis), Andre Moller (orang asing, pencinta bahasa Indonesia), Anthony Dio Martin (motivator), Robert Ramone (pastor yang juga fotografer), Christie Damayanti (arsitek muda yang terserang stroke yang juga kompasianer), Didik Heru Purnomo (mantan ketua Bakorkamla), Johan Balthasar Cassut (pendiri ATMI Solo dan Cikarang), dan Kebamoto (doktor Fisika lulusan Universitas Munchen).
Mereka berasal dari latar belakang keluarga, pendidikan yang berbeda-beda. Medan karya mereka pun yang berbeda-beda. Namun sekali lagi, “semangat” mereka sama, yakni: hidup harus bermakna bagi sesama. Barangkali mereka ini adalah pelaksana “sabda” seperti yang di Islam “Indahnya Berbagi”, dan di Katolik “Diutus Untuk Berbagi”. Semangat ini menjadi perekat di antara mereka sehingga layak disatukan dalam buku ini.
Secara acak saya mengambil empat contoh, yakni Andre Graff, Franz Magnis, Jansen Sinamo dan Christie Damayanti.
Andre meninggalkan kenyamanan hidup di negaranya Prancis untuk menjadi “hamba” bagi masyarakat Sumba dengan menjadi penggali sumur air bagi masyarakat miskin di sana. Di negaranya, dia adalah pengusaha bidang pariwisata di Prancis. Dia juga adalah pelatih pilot balon panas. Kini sudah hampir sepuluh tahun dia tinggal di Sumba. Yang dia pikirkan setiap hari adalah bagaimana menemukan sumber air baru dan menggalinya untuk masyarakat miskin.
Contoh lain Franz Magnis-Suseno. Dia meninggalkan Jerman negaranya untuk menjadi misionaris dan mengembangkan studi filsafat di Indonesia. Kemudian kita mengenal Manis dari hasil karya olah intelektualnya dalam bentuk buku, artikel, diktat, seminar, dan lain-lain. Bahkan untuk kecintaannya pada Indonesia, dia melepaskan status kewarganegaraan Jermannya dan menjadi WNI. Hari ini, hampir 53 tahun sudah dia berkarya di Indonesia.
Jansen Sinamo dan Christie Damayanti. Keduanya saat ini sedang dalam pemulihan dari sakit stroke yang mereka derita. Akibat sakit tersebut, secara fisik mereka “bermasalah”. Sulit bergerak atau berjalan, bahkan untuk menulis atau mengetik pun bukan hal mudah bagi mereka. Tapi jangan tanya soal semangat. Dalam seminggu, Jansen Sinamo bisa berada di kota yang berbeda untuk menjadi pembicara, memotivasi orang untuk mengisi hari-hari mereka secara bermanfaat. Christie memberi kesaksian di mana-mana dan menulis buku, dan “anehnya”, Christie tetap menjadi seorang arsitek. Jansen Sinamo menghasilkan lima buah buku hanya mengandalkan satu tangannya, sebab yang satu sulit digerakkan akibat stroke.
Atas dasar itu, saya menjuduli buku ini “Orang-Orang HEBAT; Dari Mata Kaki ke Mata Hati”. Apa maksud judul ini? Bagi saya, mereka menjadi HEBAT karena pilihan “tidak melulu memfokuskan perhatian pada diri sendiri” dan karena tyidak tunduk pada keadaan. Mereka rela berbagi dari yang mereka miliki bagi orang lain. Mereka menghayati dan melakukan spiritualitas man/woman for others secara konkret.
Pada cover saya mencoba memvisualisasikan spiritualitas tersebut. Tampak ada telapak kaki raksasa, hati dan pohon yang tengah bertunas. Gambar ini menunjukkan kepatuhan mereka patuh pada petunjuk mata kaki yang menuntun melangkah dari diri sendiri ke kehidupan orang lain. Dalam peziarahan hidup atas tuntunan mata kaki itu, masing-masing mereka mendengarkan bisikan hati nurani lalu berusaha menjadi berkat bagi sesamanya.
Ya, kaki mereka menjejak bumi, mata dan hati nurani mereka menyoroti dunia sekeliling lalu melakukan yang bisa mereka lakukan. Mungkin ini mirip-mirip dengan blusukan.
Sebelum memutuskan memakai cover yang sekarang, ada dua desain cover lain yang tidak kalah bagusnya yang dibuat oleh seorang desainer muda berbakat.
[caption id="attachment_259891" align="alignleft" width="300" caption="Cover desain pertama. (EDL)"]
[/caption]
Lantas, di mana letak mudahnya menjadi penulis buku seperti saya katakan pada awal tulisan ini? Siapa pun Anda, jika Anda memiliki keterampilan menulis (atau mungkin sedang belajar menulis), menulislah terus. Menulis apa saja. Suatu saat Anda akan menemukan benang merah di antara setiap tulisan yang Anda hasilkan. Kemudian kumpulkan, lakukan revisi di sana-sini, upgrade dan update data, kelompokkan, minta bantuan seseorang untuk membaca dan mengedit bahasanya, lalu jika dibutuhkan minta kata pengantar dari seseorang yang representatif.
Untuk menghidupkan tulisan, jangan lupa kasih ilustrasi berupa foto atau karikatur. Setelah itu siap-siap kirim ke penerbit atau menerbitkan secara indie (atau terbitkan sendiri) lalu edarkan melalui distributor dan jual sendiri. Resmi sudah Anda menjadi penulis buku. Gampang bukan?
[caption id="attachment_259892" align="alignleft" width="300" caption="cover desain kedua... (ilustrasi: EDL)"]
[/caption]
Buku setebal 230 halaman tersebut, sudah bisa didapatkan di toko buku Gramedia, Gunung Agung dan toko buku lainnya. Di dalamnya ada dua kata pengantar, yakni dari Sofjan wanandi (ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia – APINDO) dan R. Priyono (mantan Kepala BP Migas). Ada juga endorsement antara lain dari bos kompasiana Kang Pepih Nugraha. Kang Pepih menulis begini: Ini buku hebat berisi orang-orang hebat. Dua puluh orang hebat dari pelbagai latar belakang ini siap memberi kepada pembaca, apa pun latar belakang mereka.
Ada pula Epilog dari Jaya Suprana. Epilog ini yang membuat saya gugup sebab dia memberi judul Orang Hebat di Balik Buku Hebat. Dalam tulisannya kelirumolog itu memuji saya habis-habisan..... Tak percaya? Baca sendiri deh..... Selamat membeli, membaca dan jadilah orang HEBAT. Ingat! Jangan beli bajakan sebab buku HEBAT ini berpotensi dibajak orang...... hahahaha......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H