Lihat ke Halaman Asli

Emanuel Dapa Loka

ingin hidup seribu tahun lagi

Petrus Lengkong, Seniman Dayak, Pensiunan “Kopral Kepala”

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14111780002144806445

Jangan lupakan budaya sendiri, meski kita juga jangan mengasingkan diri dari budaya lain--Petrus Lengkong

[caption id="attachment_324683" align="aligncenter" width="533" caption="Petrus Lengkong dalam balutan pakaian adat Dayak. foto oleh EDL"][/caption]

Usia Petrus Lengkong sudah 72 tahun, namun gerakannya masih sangat lincah. Badannya pun tampak berotot. Ia masih bisa menari untuk berbagai acara, memahat aneka ukiran dan mendesain sekaligus menjahit berbagai macam baju adat Kalimantan, tentu dalam skala kecil. Pakaian adat karyanya terbuat dari kain, namun ada juga yang terbuat dari kulit kayu dengan warna-warni motif khas Bumi Khatulistiwa itu. Karena tak memiliki tempat untuk menyimpan atau memamerkan, ia titip jual ke berbagai hotel dan galeri.

Siang itu, suhu yang cukup panas menyebabkan pensiunan tentara dengan pangkat Kopral Kepala itu bertelanjang dada sambil menggunting kulit kayu untuk membuat pakaian khas Kalimantan pesanan panitia MTQ. Di lehernya tergantung kalung dengan manik-manik yang terbuat dari aneka batu Kalimantan dan tulang binatang. Tulang yang paling besar adalah tulang tengkorak kera. “Ini adalah tengkorak kera terbesar di sini,” ungkapnya dengan wajah ceria saat menerima penulis yang tiba-tiba saja bertandang ke rumahnya di Jalan Sekip Lama, Bengkayang.

Dalam dunia seni Dayak, Petrus sama sekali bukan orang baru. Minatnya terhadap dunia seni sudah tampak sejak berusia 13 tahun. Sejak itu dia sering menari dan bernyanyi dalam berbagai pesta adat Dayak. Kini ia masih sering menjadi penyanghatn, pelaksana ritual adat. Dalam budaya Dayak, setiap kali ada tamu yang datang, ia harus menjalani ritual agar selamat atau tidak terkena celaka selama berada di bumi Kalimantan.

Tentara yang Nyeni

Ketika negara ini membutuhkan tenaga-tenaga muda yang tangguh nan berani untuk menjadi tentara pada era tahun 1960-an, Petrus mendaftarkan diri dan akhirnya diterima. “Waktu itu dibutuhkan pemuda yang berani, lalu saya mendaftar dan diterima,” ujar kakek berrambut gondrong ini. Di lingkungan tentara, ia tetap saja berkesenian. Minimal, kebiasaannya melukis tetap ia jalankan. Dengan melukis atau menggambarlah ia menghilangkan kejenuhan atau membunuh waktu. Di barak tentara, maupun saat di medan perang, Petrus tetaplah Petrus yang gandrung pada dunia seni.

Begitu cintanya pada dunia lukis, sambil mengintai musuh di medan perang pun, ia masih sempat melukis menggunakan pensil dan kertas seadanya. “Lukisnya asal-asal saja. Saya lukis ekspresi teman maupun lawan. Baru setelah sampai di barak saya lanjutkan,” kisah kakek bernama lengkap Banius Petrus Piter Lengkong, kelahiran 1942 ini.

Ketika pensiun dari tentara pada tahun 1996 barulah dia kembali menekuni dunia seni secara serius. “Selain karena saya rasa inilah dunia saya, ya saya harus hidup dari seni,” ujarnya sambil tertawa sehingga gigi satu-satunya yang masih ada kelihatan dengan jelas. Dia menekuni dunia tari, lukis dan ukir. “Menekuni yang ada saja sudah bisa hidup. Tergantung kita mau hidup mewah atau hidup bahagia. Dan saya pilih hidup bahagia dengan berkesenian. Kurang atau berlebihan itu relatif,” tambah ayah dari lima anak dan kakek dari enam cucu ini.

Petrus juga membuat berbagai lukisan dan ukiran khas Kalimantan. Untuk ini Petrus tidak hanya terpaku pada jenis lukisan atau ukiran yang sudah ada. Ia melakukan improvisasi, namun tetap kental kekalimantanannya. “Saya pastikan karya saya tetap berbasis kebudayaan dan filsafat Dayak walapun ada banyak improvisasi,” tegasnya. Ya, dia memiliki sejumlah karya ciptaan, namun ia menolak mematenkan meski banyak orang menyarankan. Alasannya sederhana. “Semakin banyak orang, apalagi anak muda meniru karya saya, itu lebih baik. Kebudayaan atau karya budaya kita harus ditiru sebanyak mungkin agar bisa dinikmati semakin banyak orang dan tidak hilang. Saya tidak setuju dipatenkan,” tegasnya.

Karena cuaca cukup panas siang itu, Petrus meminta istrinya menyalakan kipas angin duduk di sudut ruangan kerjanya yang berukuran 3x4 meter itu. Maklum, saat itu sudah satu bulan Bengkayang dan Pontianak tidak turun hujan sehingga hawanya cukup panas. Sambil menyulut rokoknya, Petrus kembali berkisah.

Untuk urusan keterampilan menari, ia mengaku banyak belajar dari alam. Boleh dikatakan, tarian yang kerap ia tampilkan di panggung adalah tari kreasinya sendiri yang terinspirasi dari alam. Ketika dia masuk hutan dan melihat gerak-gerik burung, tupai atau binatang lain yang unik baik saat mereka mencumbui pasangan atau saat berkelahi dengan musuh dan saat memberi makanan pada anaknya, Petrus amati lalu mengadaptasi ke dalam tariannya.

Demikian juga saat membuat lukisan atau ukiran. “Kita tak perlu jauh-jauh mencari ilham. Alam ini sudah menyediakannya. Makanya saya selalu bilang, jangan jahat terhadap alam ini. Apa pun yang kita mau, ada di alam,” katanya sambil menyingkirkan beberapa utas rambut yang terangkat dan menutupi matanya akibat diterpa angin dari kipas angin.

Hidup Sederhana

Sebagai seniman senior, selain berkesenian di lingkup Kalimantan, ia kerap kali manggung di berbagai instansi di Jakarta. Ia juga sering tampil di luar negeri seperti Prancis, Jerman, Belanda, Thailand, Hongkong, dan Malaysia. Meski begitu, penghasilannya pas-pasan (untuk tidak dibilang kurang). Dia sadar, menekuni seni tradisional tidak mendatangkan penghasilan materi yang berlimpah. “Saya sadari itu, tapi saya harus tetap lakukan karena cinta pada budaya ini. Saya masih bisa hidup kok dengan ini,” ujarnya.

Dia pun tidak menyalahkan Pemerintah yang dinilai orang kurang memperhatikan dirinya yang melestarikan dan setia pada kebudayaan. “Pemerintah tak bisa disalahkan. Mereka pasti punya banyak pekerjaan yang lebih penting. Biarlah Pemerintah melakukan hal yang lebih penting itu. Saya juga akan tetap berkesenian demi cinta dan hidup,” ujarnya tersenyum.

Dari kegiatan berkeseniannya, Petrus telah mengumpulkan puluhan piagam dari hasil perjalanannya ke berbagai tempat. Setidaknya, itu menjadi bukti dan cerita bagi anak cucunya kelak, bahwa dia telah berkarya untuk mempertahankan dan memperkenalkan identitas Dayak di depan bangsa lain. Dia juga mengantongi penghargaan dari Gubernur Kalbar dan Menteri Pariwisata dan Kreatif RI.

Menjawab pertanyaan penulis, “Apa yang membanggakan dari orang Dayak?”, Petrus berkata, “Dulu, orang Dayak punya kebiasaan, jika ada orang yang datang ke rumah, kami tidak mau orang itu pulang tanpa makan atau pulang kelaparan. Kalau dia tidak makan, akan diberi bekal untuk perjalanan. Orang Dayak itu sangat baik, dan memiliki rasa kebersamaan. Kalau berburu dapat satu akan dibagi rata dengan warga kampung. Dulu tidak ada yang kaya dan yang miskin”.

Kearifan-kearifan tersebut yang selalu ia ingin munculkan dalam karya-karyanya. “Terus terang, saya gelisah dengan keadaan orang zaman sekarang yang tidak tahu akar budayanya lagi,” ujar pria yang pada tahun 1970-an pernah tiga kali bertugas di Timtim (sekarang Timor Leste-red) ini menyudahi obrollan.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline