Penantian
Emanuel Ardi Chrisantana
Sang Prajurit
Letusan api dari moncong pistol menyinari kegelapan malam. Sinar rembulan dan banyak insan melihat tubuh Sersan Bedil jatuh ke tanah. Dengan lubang tepat di belakang kepalanya mengalir darah yang dengan cepat menjadi genangan di atas tanah. Ketakutan dengan cepat merambati diriku. Air mata juga mengalir di pipiku, Entah karena takut atau karena sedih. Satu hal yang harusku lakukan sekarang adalah lari. Lari sejauh-jauhnya! Selatan, ya aku harus ke selatan! Aku mulai lari. Tiba-tiba ada teriakan musuh yang disusul desingan peluru. Aku ketahuan! Terus lari, teruslah berlari pikirku. Hutan yang penuh dengan segala rintangan akan aku lalui. Aku hanya ingin selamat.
Sialnya, lari ku kurang cepat. Aku ditabrak oleh peluru yang langsung mengenai punggung kananku. Kakiku tak mampu lagi menumpu aku, terlebih ditabrak dengan peluru itu membuat aku oleng dan akhirnya jatuh. Rentetan peluru pun berhenti. Tapi tetap senter masih menerangi gelapnya hutan. aku menemukan bonggol pohon untuk bersembunyi. Aku bisa mendengar suara para bajingan berbisik-bisik. Batu pun kulempar untuk mengalihkan perhatian. Suara letusan kembali terdengar. Celah beberapa detik ku gunakan untuk mengendap-endap pergi. Dan setelah beberapa saat tak ada lagi suara musuh. Tak ada lagi sorotan senter. Tak ada lagi moncong-moncong senjata dan mulut yang harus aku takuti. Hutan kembali gelap. Aku hanya mendengar suara ributnya penghuni hutan saat malam hari. Dan beberapa kali ledakan dari kejauhan. Belum jauh ku langkahkan kaki, aku sudah lelah. Lelah dengan semua hal yang terjadi. Lelah dengan fakta bahwa akulah satu-satunya prajurit Peleton P yang tersisa. Pandanganku mulai gelap. Segelap hutan tanpa rembulan. Segelap markas tanpa aliran listrik. Segelap bekas gosong pada moncong senjata. Tapi ada cahaya senter. Cahaya yang menyinari gelapnya malam dan melewati mataku. Lalu kesadaranku hilang, meninggalkan tubuhku yang pasrah dengan sang cahaya.
Si Perawat
Aku memutuskan untuk menjadi perawat di peperangan ini. Walaupun orang tuaku tidak setuju, tetapi aku tidak bisa diam saja saat negara ku sedang dalam keadaan gawat. Sudah 1 tahun peperangan ini berlangsung dan banyak hal terjadi dengan sangat cepat. Wilayah kami diambil musuh, wilayah musuh diambil oleh tentara kami. Oleh sebab itu, aku ingin menjadi perawat. Dengan berbekal pengetahuan ku dibidang kesehatan dan keberanianku, aku rasa aku pantas menjadi perawat. Setelah diterima, aku dikirim ke front Kalimantan, salah satu front yang termasuk terdepan. Akhirnya aku sampai di salah satu camp perlindungan saat malam hari. Seseorang menyambutku.
"Ah perawat baru! Kamu pasti Lovy bukan?" tanyanya
"Iya Bu" Jawabku dengan canggung.
"Perkenalkan nama saya, Desi. Saya adalah kepala para perawat di sini."
Kami bersalaman dan dengan penuh semangat ia membimbingku.