Salah satu kenikmatan berdemokrasi adalah rakyat bebas memilih pemimpin sesuai dengan kriteria yang tepat, untuk mengomandoi jalannya pemerintahan. Demokrasi juga banyak memberikan ruang, rasa keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak setiap warga negara. Di samping itu, demokrasi juga diyakini memberikan rasa aman, kelonggaran, dan kemandirian bangsa. Setidaknya, demokrasi lebih banyak memberikan kebebasan, keterbukaan, dan kemerdekaan setiap penduduk negeri ini.
Salah satunya adalah memilih calon kepala daerah yang baru saja digelar pada Rabu, tanggal 9 Desember 2020 yang lalu. Dilansir melalui detik.com, ada 270 daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan 270 wilayah secara serentak dari pukul 07.00 hingga 13.00 WIB. Pilkada serentak kali ini, dilaksanakan secara berbeda, lantaran pandemi Covid-19 sehingga seluruh daerah diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Misalnya, pemilih diwajibkan untuk menggunakan masker saat memberikan hak suara di TPS.
Pilkada serentak tahun ini, ada 9 provinsi menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Lalu ada 37 kota menggelar pemilihan wali kota dan wakil walikota di berbagai daerah. Sementara untuk kabupaten, ada 224 calon bupati dan wakil bupati untuk dipilih secara langsung. Rakyat sudah memberikan hak suaranya dengan rasa aman dan damai di tengah kompleksitas persoalan yang menerpa bangsa ini. Inilah sesungguhnya demokrasi kita. Inilah kebebasan sesungguhnya.
Pada tahun 2017, The Economist Intelligence Unit, mengeluarkan hasil riset berjudul Democracy Index 2017 Free Speech Under Attack. The Economist menyimpulkan bahwa tahun 2017---meminjam istilah cendekiawan demokrasi Larry Diamond---sebagai tahun "Resesi Demokrasi", dimana indeks demokrasi hampir di semua negara mengalami penurunan (Eko Sulistyo, 2019: 11). Melihat perkembangan demokrasi Amerika Serikat yang menjadi standar demokrasi, sedang mengalami penurunan semenjak Donald Trump terpilih menjadi presiden AS pada tahun 2016 lalu.
Salah satu kemerosotan demokrasi yang terjadi secara global adalah menguatnya politisasi agama, atau Francis Fukuyama (2018) mengistilahkan "Politik Identitas". Fukuyama bahkan menyebut politik identitas merupakan ancaman bagi demokrasi dan martabat kemanusiaan. Persemaian politik identitas telah mencolok ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kian membuka cela bagi akselerasi populisme Islam yang dimanfaatkan pihak-pihak berkepentingan.
Gelombang militan Islamis politik, kembali menghantam demokrasi yang sedang dalam tumbuh baik. Rute yang dijalani pejuang Muslim politik cenderung tidak lagi menunjukkan kenikmatan dalam multikulturalisme yang menjadi identitas negeri ini. Identitas kelompok akan condong pada sikap intoleransi, radikalisme, dan anarkisme seperti yang baru-baru saja ini terjadi.
Politisasi agama dan politik kebencian yang terjadi dalam skala lokal, kini menampilkan diri sebagai kekuatan politik nasional. Dengan munculnya Persatuan Alumni 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama) dan lainnya, bahwa arus baru ini dapat dimanfaatkan sebagai bentuk yang dapat memobilisasi massa yang merasa identitas kelompoknya diremehkan, diabaikan, dan direndahkan. Para penganut keyakinan agama yang merasa imannya dihinakan, menjadi agresif akibat propagandis ulung bermantel gamis putih.
Pengkhotbah agama terus melakukan hasutan, permusuhan, provokasi, dan agitasi kebencian kepada pihak lain yang tidak satu warna, tidak satu haluan politik. Fenomena politik era demokrasi menjadi sedemikian kompleks. Kompleksitas fenomena politik ini, tidak mudah dalam penyelesaiannya secara hukum. Mengingat kentalnya pula intervensi politik dalam hukum itu sendiri. Sudah seharusnya nyanyian politisasi agama yang dekat pada SARA, lebih ditindak tegas sesuai dengan hukum, tanpa ada percampuran politik di dalamnya.
Demokrasi memang memberikan ruang bagi siapapun untuk mengutarakan pendapatnya. Namun tidak sekadar itu, demokrasi juga tidak selayaknya dimanfaatkan untuk melakukan ujaran kebencian, provokasi berlebihan, dan narasi permusuhan. Kita jangan pernah meremehkan sedikitpun politik kebencian dan hate speech berselancar dengan bebas. Sebab jika ini dibiarkan, maka sisi keamanan, dan kemanusiaan yang akan menjadi taruhannya.
Beruntung, Pilkada serentak tahun ini yang bisa dibilang terbesar di dunia, tingkat politik kebencian dan politik identitas, dapat diminimalisasi. Bahkan tidak terjadi konflik pelik diantara para pendukung pasangan calon. Meski berlangsung aman, bukan berarti Pilkada serentak tahun 2020 ini tidak memiliki kelemahan sama sekali.
Tingkat antusiasme publik kurang terlihat, dan partisipasi yang cukup rendah dari masyarakat. Betul salah satu alasan yang paling mendasar diselenggarakan saat pandemi virus korona yang belum teratasi. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua, adalah rasa aman dan nyaman yang dapat dideteksi pada proses pelaksanaan yang terlihat damai.