Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

FPI Tidak Agamis, tapi Kelompok Islamis

Diperbarui: 25 November 2020   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kadrun.id/

Mari kita coba menghanyutkan diri dalam lagu Michael Jackson "Heal the World". Lagu ini dirilis pada 23 November 1992 itu mengandung syair istimewa, terutama yang berbunyi...create a world with no fear together we'll cry happy tears..., yang berarti ciptakan dunia tanpa rasa takut bersama kita akan menangis Bahagia. Pesan memukau yang disampaikan Michael Jackson demikian cemerlang, demikian terang.

Jauh tahun sebelumnya, di Madinah, lebih dari 1300 tahun silam, Nabi Muhammad SAW. membangun pemerintahan Islam sebagai agama masa depan yang menjunjung tinggi peradaban kemanusiaan. Agama yang merupakan fondasi utama dalam mewujudkan negara demokratis, di mana kebebasan, kesetaraan, persamaan hak asasi, dan keadilan, dapat terus berkembang. Meski istilah demokratis baru dikenal pada saat revolusi Amerika (1776) dan revolusi Perancis (1789).

Konstitusi pemerintahan Nabi dituangkan dalam apa yang kita kenal sebagai Piagam Madinah. Antara orang-orang beragama dan seluruh umat Islam, baik dari kalangan Muhajirin, maupun Ansor, serta siapapun yang turut mengikuti, menyusul, dan berjuang bersama-sama adalah satu umat. Di sini Nabi membentuk konstitusi yang mengakui adanya kepentingan bersama, tanpa memandang suku, golongan, ras, etnis, agama dan lain sebagainya. Nabi tidak membangun negara agama dan menyingkirkan agama-agama lainnya.

Nabi tentu representatif agamis dengan ajaran Islam. Nabi juga sosok yang dapat mempersatukan pelbagai perbedaan. Orang yang memeluk Islam sebagai agama kebenaran, siap membela Nabi dalam pertempuran. Namun, dengan tegas Nabi menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan dan menjunjung tinggi perdamaian.

Rasanya kita patut mempertanyakan kepada diri sendiri, sebenarnya apa makna agama? Mengapa perilaku orang beragama banyak menciptakan ketakutan terhadap orang-orang yang berbeda. Kekakuan, kekerasan, ekstremitas dan teror seringkali digaungkan oleh orang-orang beragama. Dengan memekikkan kalimat suci "takbir" seraya mencaci, memaki, bahkan membunuh, sama sekali bukan ajaran orang-orang beragama. Banyak kesalah-kaprahan dalam keberagaman kaum muslimin pada khususnya terhadap agama yang dipeluk dan seringkali tidak imbang dengan semangat keberagamaan yang berkobar-kobar. Ini masih ditambah dengan lemahnya semangat belajar tentang agamanya itu akibat rasa mapan dan aman (KH. A. Mustofa Bisri, 2016: 8-9).

Agama yang seharusnya merupakan kekuatan nilai-nilai perilaku sosial, justru diputarbalikkan oleh pelaku yang berjubah agamis untuk membuat konflik horizontal dengan apa yang disebut radikal. Front Pembela Islam (FPI) misalnya. Sejak organisasi ini lahir tahun 1998, pelbagai aksi kontroversialnya, yakni merazia, mengancam warga negara tertentu, sweeping, konflik dengan organisasi lainnya, bentrok dengan penduduk serta warga, dan seterusnya.

Perilaku FPI bukan perilaku agamis. FPI adalah ormas yang hanya berkutat pada Islam politik atau kita sebut sebagai kelompok fundamentalisme Islam (Islamic fundamentalism) dan tidak agamis akibat tindakan yang dilakukan sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang yang beragama. Paling mutakhir, HRS dan menantunya membenarkan pemenggalan kepala.

FPI hanya organisasi "Islamis" dan bukan sebagai organisasi "agamis". Maka tidak aneh, unsur politis, kebencian, dan caci-maki keluar dari mulut tercela yang mendoakan buruk terhadap orang lain dan menghinakan seorang perempuan di acara Maulid Nabi dua pekan lalu. Mengapa saya memetakan antara kelompok Islamis dan seorang agamis? Masyarakat agamis lebih bersifat membangun kedamaian penuh cinta. Sementara masyarakat Islamis lebih pada politik primordial yang ambivalen.

Istilah "Islamis" acap kali digunakan oleh orang-orang sekuler untuk menunjuk mereka yang memperjuangkan Islam dalam konteks politik, persis ketika Emmanuel Macron presiden Perancis dalam pernyataannya yang menunjuk ekstrem Islamis terhadap pelaku pemenggalan seorang guru pada bulan lalu. Tidak salah jika kaum sekuler melabeli dengan istilah itu berdasarkan apa yang mereka lihat. Para pemimpin Islamis politik juga menggunakan istilah itu dewasa ini. Kelompok al-Jama'ah al-Islamiyyah Mesir dan Jemaat-e-Islami Pakistan.

Belum lagi Partai al-Islah di Yaman menyebut mereka sebagai partai islami, Islamic Salvation Front (Front Penyelamat Islami) di Aljazair, Gerakan Islamis Zaidi Houthi Yaman, Revolusi Iran disebut dengan istilah revolusi Islami, dan seterusnya. Maka FPI di Indonesia pun kita baca sebagai kelompok Islamis. Apalagi dakwahnya yang kaku dan keras, dan belakangan mengancam memenggal orang lain serta mengandung unsur politik dan kebencian yang menghinakan orang lain.

Sebelum kaum sekuler, secara terminologi, sebenarnya Islamis merupakan istilah yang sudah lama. Untuk membuktikan istilah itu telah lama didengungkan, saya hanya mengutip judul kitab yang ditulis oleh rujukan akidah mayoritas umat Islam dan FPI sendiri, yakni Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Kitab ini diberi judul Maqalat al-Islamiyyin (Keyakinan Kaum Islamis).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline