Pascareformasi, krisis multidimensi menerjang negeri ini. Transmisi dari negara otoritarianisme Orde Baru menuju negara demokrasi, telah melahirkan corak yang lebih pada populisme Islam politik atau kelompok fundamentalis. Islam politik kembali mendapat angin segar sebagai komunitas kolektif. Baik membentuk sebagai partai---Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan lainnya---maupun membentuk sebuah komunal politis dengan bentuk organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan.
Dibukanya reformasi, telah memfasilitasi munculnya pengaruh politik sektarian, politisasi agama atau politik identitas sebagai bentuk ekspresi oposisi secara terus menerus terhadap national state (negara-kebangsaan) berdasarkan rancangan dunia internasional, dan berupaya menggantinya dengan tatanan Tuhan.
Persoalan ini bermula ketika pemerintah memperlihatkan pendiriannya yang problematis menyikapi fatwa Majelis Ulama Indonesia pada Selasa (11/10/2016), dan munculnya gerakan untuk memidanakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan tuduhan penistaan agama, yang kemudian lahir sebuah gerakan 212 di bawah komando Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, Slamet Maarif, Yusuf Martak, dan lainnya. Di lain pihak, pemerintah juga tidak bertindak mengupayakan usaha-usaha preventif dalam pencegahan melebarnya politisasi agama secara konkret.
Politisasi agama melalui fatwa, khutbah agama, dan pengucilan warga DKI agar tidak memilih non-Muslim, menjadi entitas matinya demokrasi Indonesia. Legitimasi ulama yang membuahkan gerakan 212, masih terus melakukan konfrontasi yang tajam di ruang-ruang publik. Mereka semua memandang pemerintahan sebagai musuh yang harus dilawan. Di sisi lain, ancaman para elite politik yang korup dengan realitas empiris dan praktik institusi politik demokrasi di era reformasi. Terutama anggota DPR dan partai politik yang sepertinya mendapat rapor merah, dan kesenjangan antara norma pada praktik demokrasi itu sendiri.
Demokrasi kita sudah memasuki usia 21 tahun setelah reformasi. Jika diandaikan manusia, demokrasi telah tumbuh dewasa, dan bukan lagi "Anak Baru Gede" yang hanya main-main. Wajar saja jika kita semua berharap demokrasi semakin tumbuh berkembang lebih baik. Akan tetapi tidak sesuai harapan, kualitas demokrasi kita sayangnya semakin meredup bagai kanker kronis yang sedang menggerogoti tubuh. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (2018), terkait kebebasan di 167 negara, ranking demokrasi Indonesia semakin menurun 20 peringkat, dari yang semula berada pada peringkat 48 ke peringkat 68.
Ini yang kemudian menjadi bukti menguatnya tren intoleransi, terutama semenjak aksi 212 pada tahun 2016. Meningkatnya dosis politisasi agama pada jagat politik lokal dan nasional belakangan ini, tak terlepas dari keberhasilan tokoh-tokoh kunci utama aksi 212 dalam mengagendakan kampanyenya. Agenda itu terus berlanjut dengan aksi nyata reuni setiap tahun yang menjadi ajang konsolidasi politik identitas. Hal itu semakin menjagal tumbuh-kembangnya demokrasi.
Hasil Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, menunjukkan belum siapnya masyarakat Ibu Kota menerima demokrasi sebagai sistem paling tepat untuk Indonesia, meski bukan yang terbaik. Aspek primordial Agama, menjadi model paling efektif untuk mempengaruhi psikologis pemilih masyarakat DKI yang mayoritas mengidolakan pemuka agama yang cenderung kaku, keras, dan juga ekstrem. Model populisme Islam penuh emosional, menjadi elemen penting dalam pembelahan sosial. Hal inilah yang kerap disebut sebagai pengejawantahan politisasi agama dan politik identitas, dalam lingkaran perilaku elektoral.
Sementara kekalahan pemilih rasional demokratis pada Pilkada DKI tahun 2017, melahirkan para petualang politik dan wirausahawan politis yang terus menunggangi model populisme Islam. Model kampanye kebencian kian menggandrungi pemuka agama untuk melakukan manuver berbahaya. Pemilih rasional demokratis yang dimaksud adalah menggunakan model pilihan rasional (rational choice), yakni memandang wacana teknokrat, birokrasi pemerintahan, dan pentingnya elektabilitas calon, menjadi dasar rasional dalam bekerja.
Menurut data longitudinal Indikator Politik Indonesia, rata-rata kepuasan publik terhadap Ahok mencapai 73.4%. Jika benar warga Jakarta rasional, seharusnya Ahok minimal mengantongi suara 70% sesuai dengan proporsi warga yang puas terhadap kinerjanya, tapi diputaran kedua Ahok-Djarot kalah telak dan hanya mengantongi suara sebesar 42% (Burhanudin Muhtadi, 2019: 15). Artinya, keunggulan Ahok-Djarot dalam aspek rasionalitas, tidak diimbangi oleh dimensi emosional akibat terbukanya ruang mobilisasi politik identitas yang telah membunuh rasionalitas demokrasi. Sebagian pemilih Jakarta, tidak berpikir secara rasional demokrasi, bahwa mereka sedang memilih seorang pelayan birokrasi, bukan pimpinan agama.
Fenomena pasca-kebenaran (post-truth) bukan hanya gejala nasional, ini terjadi secara global. Gejala ini dicirikan sebagai gaya mutakhir politisasi agama pada perhelatan demokrasi politik, dengan mengedepankan narasi-narasi yang membangkitkan emosionalitas daripada rasionalitas. Peran tokoh agama dalam khutbah di mimbar-mimbar agama, dapat mempengaruhi masyarakat melalui model mengaduk-aduk emosi sehingga ia rela berbuat apa saja dan membenarkan apa saja, selagi menguntungkan identitas agamanya. Meski itu kejahatan dan ketidakbenaran sekalipun.
Sebenarnya, masyarakat domestik kita secara kultural sudah mengalir identitas demokrasi yang saling terkait, kendati perbedaan pada berbagai segi, begitu mencolok dalam kenyataannya yang plural. Harmonisasi masyarakat satu dengan yang lainnya merupakan entitas antarbudaya dengan apa yang disebut sebagai satu kesatuan Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi belakangan, banyak pemuka agama memanfaatkan profetik sosial keumatan dengan perangai kebencian untuk memukul lawan.