Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

Jihad Akbar Santri Memerangi Korupsi

Diperbarui: 23 Oktober 2020   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kadrun.id

Banyak ungkapan yang mengatakan setiap waktu itu ada masanya, ada waktunya kita berperang, ada pula waktunya untuk damai. Dahulu berperang melawan imperialisme melalui legitimasi teologis (fatwa) resolusi jihad tanggal 22 Oktober 1945, yang menandai perjuangan kakek buyut kita semua di tiap-tiap daerah, melawan sekutu yang mencoba kembali menduduki Tanah Air kita dengan apa yang disebut oleh Sir Thomas Stamford Raffles sebagai "Tanah Harapan", dan kompeni menyebutnya "Zamrud Khatulistiwa".

Perang suci itu meletus pada 10 November 1945, hingga hari ini kita masih memperingatinya dengan Hari Pahlawan Nasional. Memerangi kegelapan menuju terang benderang; perang antara kekuatan kebaikan dan kejahatan; perang antara kekuatan kebatilan dan kebenaran. Seruan para ulama membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membakar semangat moril terintroduksi dalam jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Tuhan). Upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini sebelumnya telah diproklamirkan Soekarno pada 17 Agustus 1945.

Pada tahun 2015, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 (Keppres No. 22/2015) tentang Hari Santri Nasional, sempat menimbulkan polemik. Kekhawatiran beberapa pihak akan terjadi potensi eksklusivisme sektarian yang akan memecah belah bangsa. Kekhawatiran tersebut jika kita cermati secara seksama, sesungguhnya cacat logika.

Bukan hanya gagal memahami tujuan Hari Santri Nasional yang tidak semata-mata memuliakan santri, tapi juga terlalu berlebihan dalam menilai santri adalah orang-orang yang eksklusif atau lebih istimewa dan tidak terbuka. Justru Hari Santri Nasional ditujukan untuk mengenang semangat nasionalisme sipil umat Islam yang dipompa oleh fatwa resolusi jihad. (A. Helmy Faishal Zaini, 2018: 37-38).

Hari Santri Nasional di masa damai seperti sekarang ini, dalam arti filosofis bertujuan mengingatkan kembali akan pentingnya nasionalisme rasa cinta Tanah Air yang kian memudar di kalangan pemuda kekinian. 

Selain itu, jihad santri hari ini dapat juga dikatakan berperang melawan hedonisme kebodohan; kejumudan; kepandiran milenial kekinian dan kedisinian sosial-kemasyarakatan. Radikalisme, intoleransi, revivalisme, konservatisme dan purifikasi agama yang kian mewabah pada sebagian muda-mudi, mahasiswa dan kaum terdidik pun akibat ketidaktahuan secara kontemplasi perjuangan para pahlawan bangsa.

Lebih dari itu, kata-kata populer dari KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa santri bukan hanya yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah santri. Tentu kita amini argumen ini, mengingat perilaku dan akhlak juga yang menjadi tujuan Nabi Muhammad SAW dalam misinya sebagai utusan Tuhan di bumi ini, layak bagi siapapun disebut santri dalam artian etika dan moralitas.

Selama ini, kita memaknai jihad adalah sesuatu yang berkaitan dengan kekerasan dan perang. Bentuk lain jihad yang sebenarnya justru lebih luas seperti mencari ilmu, semangat menegakkan keadilan, bahkan cara berdakwah atau menasehati dengan lembut, dapat kita sebut jihad. Begitupun akar semantik yang dimaksud santri, tidak hanya dipahami sebagai orang yang belajar di pesantren saja. 

Santri juga disebut sebagai orang-orang yang merasa terikat dalam pandangan dan menjalani kehidupannya pada garis syariat atau ajaran Islam. Tidak hanya pada bidang formal ajaran keagamaan yang murni (mahdlah) melalui interaksi personalnya dengan Tuhan, tentu saja santri juga berperan dalam domain kehidupan sosial-kemasyarakatan dan situasi-kondisi publik dalam lingkaran politik negara.

Dalam pandangan santri, secara tidak langsung Indonesia adalah "Negara Islam", tapi belum menjadi "Negara Islami". Mengapa disebut demikian? Pertama, atas perjuangan para ulama-santri terdahulu dalam resolusi jihad. Selain itu, pembentukan negara berdasarkan Pancasila menjadi sebuah ideologi fundamental yang mengambil dari intisari Piagam Madinah, adalah bentuk personifikasi ajaran tata negara yang dibangun Nabi Muhammad SAW dalam membangun negara Madinah yang harmoni terhadap segala perbedaan.

Kedua, "Negara Islam" dalam pengertian santri bukan menghendaki logo besar ataupun stempel yang bersifat formalistik, melainkan substansialistik yang telah diatur dalam sistem demokratik yang mampu mengkanalisasi seluruh perbedaan orientasi politik di Indonesia, serta aturan hukum perundang-undangan yang secara formal derivatif dari ajaran-ajaran Islam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline