Semula, Prof. Mahfud hanya menjabarkan kontradiksi tuduhan atas pemerintah dalam tweetnya. Bulan September menjadi ajang menjamurnya wacana komunisme yang tembakkan ke arah pemerintahan melalui pemutaran film G.30.S/PKI. Lantas kemudian di bulan Oktober karena ramai tentang UU Cipta Kerja, pemerintahan dituduh pro-kapitalisme. Prof. Mahfud mencoba mengajak diskusi warganet terkait teori yang menjelaskan ideologi Pancasila melalui pendekatan teori Fred Riggs tentang Prismatic Society.
Prof. Mahfud pun menjelaskan semua presiden dituding menyeleweng dari Pancasila sebagai akibat dari tidak jelasnya implementatif Pancasila itu sendiri. Pada intinya, diskursus Pancasila terkait wacana komunisme dan kapitalisme yang dituduhkan ke pemerintah, ternyata hanya soal pilihan kebijakan yang boleh saja dikritik, ditolak, bahkan didemo. Kita semua pun setuju kapitalisme-komunisme tidak sesuai dengan Pancasila. Tapi bagaimana bisa dituduhkan dua ideologi politik sekaligus, sesuatu yang absurd.
HNW menimpali tweet Prof. Mahfud dengan argumen, karena memang kesepakatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila telah final, aneh jika pemerintah dan rakyat tidak menerima kapitalisme-komunisme yang jelas-jelas terlarang dan tidak sesuai dengan Pancasila.
Di sinilah ketidakpahaman HNW dalam menangkap maksud Prof. Mahfud terkait diskursus satu sasaran dua tuduhan (Komunisme-kapitalisme) sekaligus. Selain itu, HNW juga mencoba kembali penyesatan wacana dengan membangun sentimenisme yang berimplikasi pada isu-isu sektarian dan pemecahbelahan antara Pancasila dan selain Pancasila.
Indonesia sebagai salah satu negara yang paling majemuk di dunia, ditilik dari berbagai segi (agama, ras, suku, budaya, aliran politik, dan kelas sosial), memiliki konsepsinya tersendiri, bagaimana kemajemukan itu dikelola agar perbedaan tidak menimbulkan kerusakan, tetapi membawa kemaslahatan bagi bersama.
Usaha pembumian Pancasila menghadapi tantangan secara internal dan eksternal. Secara internal, penurunan keyakinan dan efektivitas Pancasila bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan yang lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan. Untuk masa panjang, ketiga lapis ideologis (keyakinan, pengetahuan, dan tindakan) Pancasila belum diaktualisasikan secara adekuat dan konsisten. (Yudi Latif: Wawasan Pancasila, 2018).
Apa yang dilakukan oleh mantan Presiden PKS adalah Devide Et Impera atau dikenal dengan politik pecah belah; adu domba; pecah dan kuasai. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan dengan devine and rule. Istilah tersebut muncul ketika Belanda mengadu domba dan memecah belah bangsa Indonesia pada tahun 1945 agar bercerai-berai menjadi kelompok kecil, kemudian kekuasaan dapat dikontrol dalam genggaman.
Wacana sektarian yang selalu didengungkan Partai Keadilan Sejahtera bersama HNW dengan pemikiran konservatifnya, tanpa disadari telah terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. PKS yang berideologikan Ikhwanul Muslimin Mesir, tentu saja berusaha memetakan pelbagai ideologi yang dianggap tidak sesuai dengan cita-citanya itu, yakni formalisasi Islam dalam negara. PKS juga merupakan tantangan bagi internal maupun eksternal bagi penurunan keyakinan dan efektivitas ideologi Pancasila. Terlebih, HNW adalah lulusan Arab Saudi---berideologi wahabisme---yang ditentang hampir seluruh kelompok ummat Islam. Baik sunni maupun syiah.
Hampir seluruh gagasan dan wacana yang disodorkan partai berlambang padi dan bulan sabit itu, tidak menjadi penting bagi realitas sosial. Bahkan devide et impera.
Sebagai contoh, HNW mengatakan, "Selama ini Indonesia sebagai negara hukum, belum mempunyai aturan hukum yang khusus untuk melindungi tokoh agama dari beragam agama yang diakui sah di Indonesia", ujar HNW dalam siaran pers di Jakarta, senin (14/9/2020). Ia juga menambahkan, "Hal itu perlu diatur secara tegas di dalam peraturan lex spesialis di level Undang-undang. Sanksi bisa berupa kurungan penjara maupun denda," ungkapnya. HNW juga mencontohkan aturan hukum di AS agar tokoh agama tidak dikriminalisasi.