Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

Waspada Politik Identitas di Pilkada 2020

Diperbarui: 3 Oktober 2020   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: ibtimes.id

Dalam praktik kontemporer, politik identitas (political of identity) sangat dipahami sebagai sarana dan sumber konstelasi memperebutkan kekuasaan. Dampak yang diakibatkan dari politik identitas adalah pola-pola kekerasan, intoleransi, dan pertentangan etnis. Isu kesukuan, rasisme, perbedaan agama, bahkan antar golongan, menjadi bahan bakar konflik sosial yang sangat sensitif dalam kedewasaan demokrasi kita.

Pilkada serentak akan diselenggarakan di 270 daerah pada tahun 2020. Dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kembali, Indonesia dalam dinamika elektoral pasca-pilkada DKI yang menasional, mendapat tantangan uji ketahanan keberagaman dan kebhinekaan. Elit politik tidak segan-segan untuk memainkan sejumlah wacana sensitif terkait politik identitas dalam pertarungan.

Menyikapi hal itu, demokrasi kita semakin terbawa arus, meminjam istilah Larry diamond sebagai "resesi demokrasi" global. Francis Fukuyama (2018), seorang penulis terlaris versi The New York Times menulis dalam buku terbarunya Identity: Contemporary Identity Politics and The Struggle for Recognition, menggambarkan fenomena menyusutnya demokrasi global akibat politik identitas dan nasionalisme sempit. Puncaknya adalah kejutan elektoral pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016 dan referendum Inggris keluar dari Uni Eropa; Britania Exit (Brexit).

Bahkan Fukuyama menyatakan politik identitas sebagai ancaman terhadap martabat manusia dan demokrasi pada abad 21. Semenjak Donald J. Trump terpilih menjadi Presiden AS pada bulan November 2016 yang lalu, demokratisasi dunia modern berevolusi secara cepat. Karena kelompok-kelompok kepentingan kerap kali mendefinisikan pemahaman sempit dengan mengabaikan mayoritas. 

Trump menggunakan politik identitas sebagai alat dalam mencapai kuasanya di AS. Menembak lawan politik dari berbagai posisi, dan memobilisasi massa pada sejumlah kampanye jaringan maya. Ini yang kemudian menjawab banyak pertanyaan tentang dinamika politik modern pada dekade sekarang, dengan apa yang disebut politik kebencian. Kebencian ini yang memicu berbagai konflik dalam suhu politik akar rumput. Konstruksi sosial semacam itulah yang mengakibatkan perpecahan dan konflik sosial. Ujaran kebencian, punishment ditujukan kepada personal maupun kelompok, berujung penggunaan perangkat Undang-undang untuk saling menjerat yang berakhir pada tumpukan berbagai laporan kasus di kantor aparat keamanan.

Merebaknya politik kebencian dan diskriminasi rasial di negara kita, kian memperburuk situasi kemajemukan yang ada. Nancy Fracer dalam Rethinking Recognition dalam New Left Review 3 may-june 2000, pada tahun 1970-1980-an, perjuangan politik identitas dicap sebagai Recognition Of Difference menjanjikan nilai-nilai perjuangan emansipatoris. Namun saat ini, jalan itu tidak lagi mempromosikan multikulturalisme, akan tetapi identitas kelompok, autoritarianisme, chauvinisme, separatisme, patriariki, dan intoleransi.

Beberapa rangkaian kekerasan dan intoleran serta rasialisme yang terjadi belakangan ini ke berbagai komunitas minoritas seperti Syi'ah, Ahmadiyah dan lainnya, menunjukkan bahwa negara belum memenuhi hak-hak kelompok marjinal. Sebuah kontradiksi dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, pada selasa (8/9/2020), yang mengingatkan agar tidak menggunakan politik identitas pada Pilkada 2020 yang akan berlangsung 9 Desember 2020 mendatang.

Tidak hanya Presiden, Kepolisian Republik Indonesia juga menyoroti sejumlah potensi politik identitas, ujaran kebencian hingga hoaks yang bertebaran di dunia maya. Polri pun sudah memetakan kerawanan Pilkada Serentak 2020 dan menempatkan sejumlah personel yang bekerjasama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan.

Semestinya pemerintah dan aparat keamanan bekerja dalam hal bersemainya politik identitas, tidak hanya saat momentum politik berlangsung. Mendeteksi dini, monitoring ter-update harus diupayakan setiap waktu. Beberapa kelompok radikal tidak hanya bergerak saat momen politik. Lebih dari itu, pemerintah cenderung membiarkan kelompok minoritas tersebut menerima perilaku diskriminasi, rasisme, dan persekusi.

Wahid Institute menyatakan penegakan hukum yang lemah adalah salah satu sebab berbagai aksi intoleran dan berkembangnya radikalisme. Hampir tidak ada perubahan terhadap dalam pola penanganan kasus seperti pemulihan hak-hak korban dan penegakkan hukum. Pemerintah memang memiliki keinginan untuk menyelesaikan, namun niat itu tidak direalisasikan secara nyata.

Akibatnya, karakter bangsa ini semakin terkoyak sebab maraknya aksi intoleransi dan konflik sektarian. Perilaku demikian yang melahirkan berbagai ekspresi kebencian, permusuhan, tindakan kekerasan, radikal, diskriminasi dan persekusi terhadap orang-orang yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline