Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

Benturan Banser-PKI, Berakhir Rekonsiliasi

Diperbarui: 20 Oktober 2020   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.facebook.com/BanserSatkoryonNogosari/posts/150890856701372

"Wes, biarin saja dia memaki kita. Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur)," cakap seorang pemain ludruk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam dialog pada sebuah pementasan ludruk di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar tahun 1965an. Pemain ludruk lain mengomentari, "Gusti Allah gak turu, wong gak duwe kloso (Tuhan tidak tidur karena memang tidak punya tikar)," menimpali lawan bicaranya.

Tiba-tiba pementasan ludruk yang berjudul Matine Gusti Allah (Matinya Tuhan), itu berubah mencekam, ketika seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang menyelinap di antara penonton, muncul di tengah ratusan penonton ludruk, karena terpancing  dengan sebuah dialog dalam pementasan tersebut. Amarah seorang Banser tak terbendung lagi, ia melompat di antara riungan penonton ke atas panggung dan mengamuk, sehingga membuat para pemain ludruk beserta penontonnya, lari kocar-kacir tak karuan.

Pementasan Ludruk Lekra di tempat lain, tepatnya di Desa Kerjen, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dalam sebuah hajatan pengantin yang juga berakhir ricuh. Beberapa anggota mengamuk dan mengobrak-abrik hidangan prasmanan yang disuguhkan khusus para tamu, kemudian membuangnya ke sawah. Pentas Ludruk pun akhirnya bubar seketika. Banser menganggap dialog yang diutarakan lakon ludruk dalam sebuah pentas seni itu adalah bentuk penistaan agama.

Dialog yang dikisahkan oleh lakon ludruk yang tergabung dalam Lekra tersebut, sebetulnya sangat sederhana: menggambarkan kondisi perekonomian yang serba sulit. Kidung dan parikan yang dibawakan dalam ludruk juga mengandung penderitaan dan kegetiran bercampur kekecewaan dalam kehidupan kala itu. Cerita itu dibentuk dalam sebuah sindiran, akan tetapi orang kampung yang tidak terdidik, tidak begitu memahami maknanya.

Sejarah kelam yang hingga hari ini menjadi kabar hangat menjadi bahan perbincangan, yakni peristiwa Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia, kemudian dikenal sebagai G30S/PKI, merupakan peristiwa berdarah yang memilukan hingga tak akan pernah dilupakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama dan PKI sendiri.

Bagi umat Islam, khususnya Nahdlatul Ulama; Gerakan Pemuda Ansor-Banser, peristiwa G30S/PKI menjadi trauma berat. Menurut Ketua Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio (1914-2004), yang merupakan tangan kanan Presiden Soekarno, mengungkapkan anggota PKI saat itu berjumlah 20 juta. Jika pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tidak dibendung, maka akan terjadi pertumpahan darah dan Indonesia menjadi negara komunis yang menyingkirkan agama. Islam akan lenyap dan dianggap dongeng masa lalu.

Prediksi demikian yang kemudian segera diwaspadai umat Islam, dalam hal ini NU; GP Ansor-Banser memperkirakan; memperhitungkan; menaksir; menerka; menghitung secara masak dan bersiap siaga dengan segala resiko apapun yang terjadi di depan mata. Prediksi yang semula telah diwaspadai, nyata sudah, PKI akhirnya melakukan pemberontakan. Bersegeralah NU dengan prajurit muda pelindung ulama, GP Ansor-Banser bergerak membela agama dan rakyat---membasmi PKI dengan penuh semangat pergerakan---tanpa persenjataan dan logistik yang memadai.

Abdul Hamid Wilis, seorang Komandan Banser dalam karyanya Aku Menjadi Komandan Banser: Membela Pancasila-Menumpas G-30-S/PKI (2011), dengan kesaksiannya mencurahkan, bahwa situasi semakin kacau dan menakutkan. Tiap malam terjadi perampokan dan pencurian, disertai penganiayaan dan pembunuhan. 

Sasarannya orang atau tokoh agama, tokoh Masyumi atau tokoh NU dan orang kaya yang sudah naik haji. Dan kalau kebetulan mempunyai anak gadis atau perawan, tidak segan-segan diperkosanya. Orang-orang sudah tahu bahwa pelakunya adalah orang-orang komunis PKI.

Abdul Hamid Wilis juga menambahkan dalam catatannya, bagi yang ingin selamat dari perampokan, pencurian, pembunuhan dan penganiayaan, maka jauhi tokoh agama (Masyumi dan NU), dan bergabung dengan PKI. PKI dan orang-orang komunis telah menjadi monster yang menakutkan, orang awam yang tinggal di desa-desa merasa tidak aman dan tak dilindungi pemerintah. Mereka dipaksa bergabung dengan PKI. Sementara warga NU lebih memilih meninggalkan desanya untuk sementara waktu.

Kejadian lain pada tahun 1962, dilakukan oleh aktivis PKI yang mulai mendominasi kota Surabaya, Jawa Timur, pada sebuah masjid yang dikeramatkan. Masjid yang didirikan oleh Sunan Ampel di kawasan Kembangkuning tepat di jantung kota Surabaya, dan digunakan untuk pusat dakwah pengajian Islam, diserbu PKI dan Gerwani yang didukung sebagian tentara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline