Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

Deteksi Dini Virus Khilafah HTI

Diperbarui: 20 September 2020   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

borneonews.co.id

Fenomena khilafah kian marak pada sejumlah pemuda di Indonesia. Akibat beberapa platform pada jaringan maya, virus khilafah kian berkecambah pada kehidupan nyata. Fakta itu dapat kita perhatikan pada sejumlah gerakan radikalisme dan fundamentalisme, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Salafi, maupun Wahabi. Gerakan-gerakan tersebut kian "menggigit" pada sejumlah pemuda pemudi hingga berujung pada penghakiman takfiri.

Pascareformasi, gelombang "tsunami ideologi dan manuver gerakan politik" yang disebut radikal, ataupun fundamentalis transnasional, membanjiri Tanah Air. Termasuk organisasi Hizbut Tahrir (HT)---yang digunakan sebagai kendaraan politik Taqiyyudin an-Nabhani pada Tahun 1952, di Yordania. Organisasi ini memiliki impian mengembalikan khilafah Islamiyyah, dan menghapus sekat-sekat negara-bangsa (nation state), serta memusnahkan ideologi dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

Dalam penegakkan khilafah ala HT, penggendongnya di Indonesia menganggap hal itu adalah sebuah kewajiban yang harus diupayakan oleh seluruh umat Islam. Gus Makmun Rasyid, selaku penulis buku popular HTI Gagal Paham khilafah (2016), menyebutnya sebagai "mahkota kewajiban". Sebuah doktrin khusus untuk mengikat, dan menafikkan pemaknaan lain yang lebih mainstream, seolah Tuhan hanya berpihak pada sistem khilafah versi HT.

Dewasa ini, merujuk istilah khilafah, maka tidak akan lepas dari unsur politis. Oleh karena nomenklatur politik praktis HT yang menguat. Pemaknaan Pancasila juga dapat kita sebut khilafah versi Indonesia. Mengingat, Pancasila adalah sebuah konsensus berdasarkan pada apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Dalam membentuk sebuah negara Madinah, yang disebut Piagam Madinah.

Menanggapi hal itu, KH. Zuhairi Misrawi, atau yang lebih akrab disapa Gus Mis, seorang Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan, "Bicara khilafah, khilafah di Indonesia merupakan sistem kesepakatan konsensus bersama, maka Pancasila adalah khilafahnya Indonesia."

Ungkapan tersebut di utarakan saat webinar yang dihadiri puluhan Mahasiswa, tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPPI), membahas tentang milenial yang sadar digital untuk mengampanyekan nilai-nilai Pancasila melalui platform media sosial, senin (10/8/2020). Sejatinya, Pancasila adalah sebuah pondasi negara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keagamaan yang berdasarkan syariat Islam. Oleh karena itu, tidak perlu lagi khilafah versi HT.

Otoritas tunggal penegakkan khilafah Islamiyah versi HT, diakui sendiri oleh aktivis HT sebagai antitesis ideologis yang siap menandingi dan mengganti sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang telah final. Untuk itu, khilafah sebagai sebuah doktrin penghancuran NKRI, merupakan penyakit dalam tubuh Ibu Pertiwi yang harus segera diobati. Tidak hanya itu, semua elemen bangsa ini, harus mampu mendeteksi sejauh mana virus khilafah ini berkembang di kemudian hari.

Kata kuncinya adalah bagaimana fenomena "mahkota kewajiban" khilafah, berhasil dideteksi, sebelum ideologi tersebut semakin meluap di Indonesia. Jika khilafah itu berjaya di sini, maka akan lebih parah dari apa yang terjadi di sejumlah negara di Timur-Tengah dan Afrika, karena di sini negara kepulauan yang terpisah antara satu pulau dengan pulau lainnya.

Penulis beraggapan, bahwa sifat takfiri (mengkafirkan orang di luar keyakinannya), merupakan awal mula bibit-bibit virus khilafah ini tumbuh. Sebab, HT beranggapan ideologi Pancasila adalah taghut (berhala), demokrasi sistem kufur (kafir), NKRI adalah negara kafir. Inilah yang kemudian membuat pemerintah mencabut status hukum HTI pada Tahun 2017 lalu, sebagai pengejewantahan "dakwah politik" khilafah HTI yang bertentangan dengan ideologi negara.

Dari takfiri ideologis, berujung pada takfiri fiqih siyasah (hukum politik). Karena tidak ada keseimbangan antara literatur fiqih, dengan konsep negara-bangsa kekinian, sehingga yang lahir adalah hukuman (punishment). Akibat punishment itulah berakibat pada konflik sosial di masyarakat. Dalam hal ini, dakwah khilafah yang menggunakan kedok agama akan berhadapan dengan negara.

Untuk menyelamatkan negara, tidak harus menunggu virus khilafah ini menjalar dan kemudian memberontak terhadap negara. Karena aparat keamanan dan tentara tidak menyediakan "payung sebelum hujan"---tidak  bisa bergerak sebelum insiden sudah terjadi atau berlangsung. Mereka dapat difungsikan setelah peristiwa terjadi melalui peraturan perundang-undangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline