Lihat ke Halaman Asli

M. Aminulloh RZ

Hidup Berpetualang

Problematika Diskursus Negara Islam dan Khilafah

Diperbarui: 2 September 2020   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: gchumanrights.org

Judul tulisan ini cukup menarik untuk dikaji, bagaimana para pemikir Islam terus memikirkan konsep dari Negara Islam dan khilafah? Karena dari zaman dulu sampai sekarang belum ada pelaksanaan berdasarkan hasil pemikiran itu sendiri.

Agama Islam sebagai petunjuk jalan kehidupan (syariah), rupanya tidak memiliki kejelasan dalam sebuah konsep negara. Mengapa demikian? Karena sampai hari ini belum ditemukan bagaimana formulasi konstitusi Negara Islam dan Khilafah itu sendiri.

Faktanya adalah tidak ada pendapat baku dalam membentuk sebuah negara, apakah dalam bentuk negara bangsa (nation state), berdasarkan etnis tertentu, ataukah negara wilayah atau kota (city state)?

Mengenai mekanisme pergantian pemimpin saja, Islam tidak secara detail dan jelas konseptualnya. Kenyataannya, ketika Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan digantikan oleh Khulafaur Rasyidin. Yang pertama adalah Sahabat Abu Bakar. Saat itu proses dan musyawarah dari para Sahabat Nabi memakan waktu tiga hari, dan atas wasiat nabi, bahwa Sahabat Abu Bakar sebagai pengganti imam Shalat, maka Sahabat Abu Bakar yang selanjutnya memimpin dan menggantikan Nabi yang kemudian di baiat oleh seluruh penduduk Madinah.

Demikian pula Sahabat Abu Bakar, sebelum wafatnya, sudah mewasiatkan bahwa Sahabat Umar bin Khattab yang menggantikannya. Hal ini berarti, mekanisme penunjukan seorang pemimpin untuk menggantikan pemimpin sebelumnya yang telah wafat. Jika kita selaraskan dengan zaman sekarang adalah seorang Wakil Presiden yang menggantikan Presiden kalau terjadi sesuatu pada Presiden, untuk menggantikan posisi kepemimpinan yang ditinggalkan.

Lalu, setelah 10 tahun lamanya memimpin (634-644 M atau 13-23 H), di akhir masa hidup Sahabat Umar bin khattab berpesan, untuk menunjuk pengganti dirinya, dibentuklah anggota dewan pemilih yang terdiri dari tujuh orang (ahl halli wa al-aqdhi). Tujuh anggota dewan ini yang akan menentukan kepemimpinan selanjutnya. Anggota dewan tersebut terdiri dari Sahabat Ali bin Abi Thalib, Sahabat Zubair bin Awwam, Sahabat Abdurrahman bin Auf, Sahabat Thalhah bin Ubaidillah, Sahabat Ustman bin Affan, Sahabat Saad bin Abi Waqqash, dan putranya Abdullah bin Umar.

Dari tujuh anggota dewan ini, Sahabat Umar bin Khattab berpesan agar anaknya tidak dibolehkan untuk dipilih sebagai pemimpin selanjutnya. Akhirnya anggota dewan tersebut bersepakat untuk mengangkat Sahabat Utsman bin Affan sebagai pemimpin negara dan pemerintahan selanjutnya. Setelah itu, Sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Sahabat Ustman bin Affan.

Setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir, Muawiyyah beserta anak cucunya bersiap untuk menggantikan Ali bin Abi Thalib untuk memimpin pemerintahan. Di sinilah kemudian terjadi sebuah gesekan politik yang melahirkan politik dinasti berdasarkan marga dan keturunan.

Untuk ukuran sebuah negara, Islam pun belum jelas konseptualnya. Pasca Nabi Muhammad SAW meninggalkan Madinah, tidak jelas bentuk sistem konstitusional sebuah negara bagi Muslimin. Sahabat Umar bin Khattab memperluas imperiumnya sampai ke Asia Tenggara.

Hal ini tentu saja, Islam mirip dengan sebuah konsep, seperti komunisme untuk sebuah pemerintahan. Manakah yang lebih didahulukan untuk ukuran sebuah negara, menyebarkan pahamnya terlebih dahulu lalu kemudian membuat batasan-batasan teritorialnya, atau menunggu sampai kemudian dunia ini menjadi penganut Islam, baru memikirkan bentuk sebuah negara dan pandangannya?

Dengan demikian, pembahasan ini menjadi sangat penting, karena belum ada kejelasan tentang gagasan Negara Islam dan khilafah mengenai konsepnya. Fakta tersebut terjadi di berbagai negara, seperti Negara Republik Islam Pakistan, perdebatan antara pemimpin-pemimpin modernis Islam dan tradisional konservatif, apakah bentuk negara dan konseptualnya mengikuti fiqih yang dihasilkan mujtahid melalui deduksi dan derivasi dari Al-Quran dan Sunnah Nabi, yang harus diberlakukan? Atau sesuatu yang lebih universal?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline