Saat pertama kali baca buku "Habislah Gelap Terbitlah Terang", ga tahu kenapa aku langsung jatuh cinta dengan sosok Kartini. Buku ini pun ga bersih lagi, penuh coretan garis bawah pada beberapa kalimat yang kusukai dan lecek pula karena dibuka berulang-ulang.
Menurutku pemikiran Kartini itu luar biasa. Ia hidup di masa lalu, tapi pemikirannya sudah melampaui zamannya, bahkan hingga kini masih saja relevan.
Jika saat ini sedang tren pembelajaran abad 21, salah satu bekalnya critical thinking, Kartini sudah melakukan itu pada zamannya. Kartini berpikir kritis terhadap lingkungan sekitarnya.
Ia melihat perempuan pada zamannya di lingkungan sekitarnya tak ubahnya hanya sebagai robot pelengkap laki-laki, tak punya kesempatan bersuara, atau berpendapat, juga berkehendak. Kartini tidak hendak melawan laki-laki, tapi Ia hanya ingin perempuan berpendidikan. Kartini tidak bersekolah tinggi, tapi Ia perempuan terdidik. Buku-buku yang Ia baca, surat-surat yang Ia tulis sebuah bukti bahwa Ia terdidik.
Sikap kritis Kartini juga ia sampaikan terhadap sikap beragama bangsanya. Menurutnya, agama seharusnya jadi sumber keselamatan, kebenaran. Tapi banyak orang berbuat kerusakan atas nama agama. Kartini heran kenapa kitab suci Alquran hanya dibaca tapi tidak dipelajari isinya. Menurutnya, bukankan segala sumber hukum ada di dalam kitab suci Alquran, tapi Ia tidak boleh mengerti isinya (saat itu).
Kartini sangat yakin terhadap kekuasaan Allah SWT. Kartini mengatakan, hal yang pertama harus diajarkan dalam agama adalah mengenal Tuhannya yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bagi Kartini segala hal dalam hidup tak lepas dari iradat (kehendaknya). Kartini memaknai Puasa Ramadhan merupakan kondisi habis gelap terbitlah terang. Dengan puasa, merasakan kesulitan, menahan diri dll, maka selepasnya akan terasa terang ( kebahagiaan, kelepangan, pencerahan) dll
Saat ini perempuan sudah bebas untuk berekspresi dalam pendidikan atau pun di wilayah publik, meski tetap saja perempuan sendiri masih banyak yang inferior untuk maju (kaya saya). Kartini bukan ingin perempuan bebas tanpa batas,hedonis, bersenang-senang dan menyerang laki-laki tidak sama sekali. Bagi Kartini, pendidikan bagi perempuan justru untuk memajukan bangsanya. Sebab, menurutnya perempuan adalah sumber utama peradaban, sebab Ia yang pertama kali mendidik putra-putrinya.
Cita-cita Kartini ada dua, dia ingin menjadi guru, karena dengan menjadi guru katanya bisa membentuk akhlak manusia. Kedua dia ingin jadi penulis, sebab penulis bisa menyebarkan kebajikan tanpa ruang dan waktu.
Kartini sangat kuat dengan cita-citanya, tapi sayang..sebelum cita-citanya tercapai, Ia harus wafat setelah melahirkan. Tapi, sebenarnya apa yang ia perjuangkan tidak sia-sia. Perempuan kini sudah bebas bersekolah, bebas berekspresi dalam ruang publik, bebas bersuara, berkehendak, meski bias gender masih terasa kental di masyarakat.
Mengingat hari kelahiran Kartini, sebagai perempuan tentu kita bisa meneladani sikapnya bukan sekedar mengenakan kebaya ya, yaitu senantiasa berpikir kritis dan tidak berhenti belajar. Harapannya dengan banyaknya perempuan berpikir kritis dan terdidik, akan lahir anak-anak berkualitas dan peradaban bangsa lebih maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H