Pada beberapa wilayah bekas kotapraja Hindia Belanda, terdapat keunikan desain tata kota yaitu konsep alun-alun. Alun-alun sebagai ruang publik biasanya dikelilingi dengan pasar, masjid, penjara dan pohon beringin, tak jarang dilengkapi dengan menara air. Menara air pada konteks zaman kolonial memiliki 2 peran penting.
Pertama, menara air sebagai penyimpanan air untuk kereta uap dan sebagai tempat cadangan air penduduk kota. Menara air di dekat stasiun Kereta Api (KA) biasanya menjadi tandon air untuk kereta uap pada abad 19.
Di Manggarai, Jakarta, misalnya, menara air KA masih kokoh berdiri sejak 1917 dengan ciri khas desain kolonial Hindia Belanda.
Menara air KA lain tersebar dari Semarang, Yogyakarta hingga Cirebon. Desain menara air cenderung seragam dengan material dari tulangan beton dengan tinggi di atas 2 meter.
Fungsi menara air kedua sebagai tandon cadangan air bersih. Peninggalan menara air era kolonial masih dapat kita lihat di bekas kotapraja Belanda seperti di Medan dan Makassar.
Menara air memegang peran kunci dalam distribusi pelayanan air minum. Air yang ditampung di menara, kemudian digelontorkan ke pipa transmisi utama hingga ke konsumen. Selain sebagai penampungan, menara air berfungsi sebagai distribusi pelayanan dan menstabilkan tekanan air.
Menara air juga berfungsi sebagai reservoir penyeimbang. Insinyur-insinyur Belanda membangun menara air untuk menambah tekanan air saat distribusi dan penyimpanan air.
Sayangnya, beberapa menara air peninggalan kolonial kini terbengkalai dimakan zaman dan tak lagi digunakan.
Menara Air Peninggalan Kolonial
Di mancanegara, menara air kerap dijadikan ikon kota misalnya menara air dengan desain Route 66 di Amerika Serikat yang menjadi center of attention di beberapa film Hollywood.