Lihat ke Halaman Asli

Sekeping Mimpi Besigar

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Akeh ndok kemono semampu akeh, Akeh ndok belajor, akeh ndok pengen pintar. Au, akeh harop induk bepake memperjuangkan, au rombong minta jugo memperjuangkan, pemerintah jugo harop memperjuangkan”, ujar Besigar, salah satu anak rimba dari kelompok kedundung muda. (Saya mau belajar kemanapun semampu saya. Saya ingin pintar. Saya harap ibu dan bapak turut mendukung, dan dari kelompok rimba juga mendukung. Terutama dukungan pemerintah sangat diharapkan)

Dengan penuh semangat, Besigar menjalin satu per satu mimpi-mimpinya untuk mendapatkan pendidikan sama dengan anak lain seusianya.Sabtu, (8/6) adalah saat yang mendebarkan bagi Besigar, Meranggai,Perbal, Sekolah, Bejujung, Besiar, dan Budi. Tujuh anak rimba ini akan mendapatkan hasil ujian nasional yang telah mereka ikuti beberapa waktu yang lalu, sekaligus pengumuman kelulusan pendidikan sekolah dasar yang mereka ikuti selama enam tahun.

Tahun ini Sekolah Dasar Negeri 191, Pematang Kabau II, Kecamatan Sarolangun tempat mereka belajar, hanya mendaftarkan sembilan muridnya mengikuti Ujian nasional. Dan semua pesertanya adalah anak rimba yang berasal dari kelompok Kedundung Muda ini. Pagi itu Shasa, Fasilitator Pendidikan KKI Warsi menyebutkan menerima sebuah pesan singkat dari terkait dengan kelulusan tujuh anak rimba yang mengikuti pendidikan di SDN 191, PematangKabau, Kecamatan Sarolangun.

“Semua siswa yang mengikuti Ujian Nasional tahun ini ada sembilan anak. Betulus dan Bedewo yang juga anak rimba tidak lulus karena mereka tidak mengikuti Ujian Nasional dikarenakan ada urusan keluarga di rimba”, sebutnya.

Tentu saja berita gembira ini disambut dengan bahagia oleh tujuh anak rimba yang telah berkumpul di kantor lapangan KKI Warsi. Meski ini bukan keberhasilan pertama bagi orang rimba dalam menamatkan sekolah formal. Namun tetap saja keberhasilan kali ini, semakin membuka peluang besar bagi anak-anak rimba yang ingin menguntai mimpi-mimpi mereka melalui sekolah formal.

Hingga saat ini sudah ada 60 anak rimba yang telah berhasil menamatkan sekolah dasar, 12 orang anak rimba yang saat ini belajar di Sekolah Menengah Pertama dan 1 anak rimba yang telah berhasil menanamatkan Sekolah Menengah Atas. Keberhasilan yang diperoleh ini bukanlah sebuah langkah mudah. Banyak rintangan demi rintangan dihadapi mengemas satu per satu mimpi anak-anak rimba ini. Perjuangan itu diawali sejak Juli 1998, Yusak Adrean Hutapea (alm) memulai mengenalkan pendidikan bagi anak-anak rimba ini.

Proses ini tidaklah mudah, penolakan demi penolakan sering diterima Yusak. Bagi Orang Rimba pendidikan adalah sesuatu yang “pantang”. Karena mereka berkeyakinan dengan apapun yang dihadirkan pada mereka kan mengubah adat dan budaya mereka. Mengubah halom dalam bahasa mereka.Namun pendidikan ini penting bagi Orang Rimba, dikarenakan ketidaktahuan mereke pada huruf latin dan angka telah menyebabkan mereka sering ditipu pihak luar. Pendidikan yang dihadirkan akhirnya disesuaikan dengan adat dan budaya yang berlaku di tengah-tengah komunitas ini. Buku dan alat tulis ketika itu daianggap tabu. Yusak menggunakan medium ranting-ranting kayu, arang dan tanah sebagai pengenalan huruf dan angka.

Metode yang digunakan memadukan unsur alam, adat orang rimba dan pendekatan-pendekatan alternatif. Memadukan unsur; kognitif, afektif dan psikomotorik dirasa bisa menjadi tumpuan dalam proses belajar ini. Formalitas sekolah ala pendidikan formal tak menjadi acuan, Warsi memilih metode alternatif yang jauh dari kesan formal.

Dimanapun, kapanpun dan dengan alat apapun proses belajar bisa dilakukan. Tepi sungai,di bawah pohon, atau di bawah naungan sensudungon (pondok) bisa menjadi ruang bagi proses belajar. Siang, pagi, sore bahkan tengah malam bisa menjadi waktu belajar. Sembari memeci, sembari berenang, sembari memancing semua bisa menjadi medium belajar.

Perlahan Orang Rimba mulai menerima proses belajar tersebut. Mereka merasakan kemampuan mambaca, menulis dan berhitung yang dimiliki bukan merusak adat, tapi ini untuk mempertahankan adat itu sendiri. Tingginya interaksi dengan masyarakat luar, serta pembangunan yang berkiblat pada keuntungan sesaat menjadikan kawasan hidup bagi Orang Rimba semakin sempit. Pendidikan menjadi senjata bagi mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ilmu luaron, demikian mereka menyebut pendidikan yang diberikan, ini pada akhirnya berguna menopang kehidupan Orang Rimba, terutama dalam mempertahankan hak-hak dasar dan sumber daya untuk mendukung kehidupan mereka.

Kesadaran itulah akhirnya membuat banyak orang tua di rimba yang selama ini menentang anaknya untuk sekolah kini membuka hati dan mendukung anak-anaknya untuk bersekolah. Seperti yang dipaparkan Meratai, ayah Besigar bahwa dia menaruh harapan yang besar pada anak laki-lakinya ini. “Akeh punyo anak jenton duo orang, tapi hopi ngikut kato orang tuo. Hopi ndok sekola. Akeh bersyukur Besigar luluy. Akeh akan memperjuangkan, membenokkan sampe kemanopun Besigar ndok sekola. Semuo keperluannyo akeh tanggung. Akeh harop guru gono-gono mengajarinya,gono-gono mendidik,” katanya sesaat menerima berita kelulusan Besigar.

Meski pendidikan sedikit demi sedikit telah dapat diterima Orang Rimba, namun belum merata untuk semua anak rimba. Besigar, dan keenam temannya cukup dapat berlega hati. Pasalnya anak laki-laki rimba bisa saja tanpa halangan menggapai mimpinya, berbeda dengan anak perempuan di rimba. Adat masih membatasi ruang gerak bagi mereka. Orang Rimba memiliki keyakinan bahwa Dewa diturunkan melalui perempuan, dan sebagai bentuk pengagungan tersebut anak-anak perempuan rimba sangat diproteksi. Rerayo, atau orang-orang tua di Rimba menjaga anak-anak perempuannya berhubungan dengan dunia luaron.

Selama rentang waktu lima belas tahun, fasilitator pendidikan yang mengabdikan diri di Warsi datang dan pergi silih berganti. Tercatat ada 14 fasilitator yang pernah bergabung untuk mendedikasikan diri bagi pendidikan Orang Rimba, yaitu;Yusak Adrian Hutapea (alm), Saur Marlina Manurung (Butet Manurung), Oceu Apristawijaya,Saripul Alamsyah Siregar, Agustina D. Siahaan, Ninuk Setya Utami, Fery Apriadi, Galih Sekar Tyas Sandra, Abdul Rahman, Kartika Sari, Priyo Uji Sukmawan (alm.), Karlina, Shasa dan Huzer Apriansah.

Guru-guru rimba ini telah mengabdikan diringa mengantarkan satu per satu anak rimba mendekati mimpinya. Meski demikian perjalanan Besigar dan kawan-kawannya masihlah teramat panjang untuk memetik mimpinya, dorongan dari semua pihak sangat dibutuhkan. Sejauh ini tampaknya negara sedikit demi sedikit telah mengambil peran dalam proses tersebut. Seperti yang diungakapkan Ade Irma, Kepala Sekolah SDN 191 Pematang Kabau yang mengharapkan anak-anak didiknya yang telah lulus itu dapat melanjutkan ke tingkat lanjutan berikutnya.

“Kita berharap anak-anak ini bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, rencananya ke SMP yang ada di Bukit Suban ini. Dan untuk sekolah berikutnya, diharapkan guru-gurnya lebih membantu mereka. Karena mereka tidak bisa belajar dan datang setiap hari, dikarenakan harus masuk ke hutan. Jadi mereka perlu bimbingan lebih untuk mengejar ketertinggalan itu,” ungkapnya.

Selama iniBesigar dan anak rimba lainnya melakukan kegiatan belajar mengajar hanya tiga kali dalam seminggu. Mereka biasanya tinggal di kantor lapangan Warsi ketika ada jadwal sekolah. Mereka berjalan kaki bersama-sama ke sekolahnya yang berjarak kurang lebih 3,5 kilo meter dari kantor lapangan Warsi. Rutinitas itu menjadi sebuah kebahagiaan bagi mereka. Sekolah dan belajar menjadi upaya mereka untuk mempertahankan adat dan identitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline