Lihat ke Halaman Asli

Mengembangkan Energi Alternatif dari Desa ke Desa

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13617665471140293129

Membaca pengumuman lomba blog Oxfam,yang merupakan konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Membuat saya tergelitik untuk menceritakan perjalanan lapangan ketika mengikuti praktek pembuatan instalasi biogas di tiga Kabupaten di Provinsi Jambi. Bagi masyarakat yang berada di daerah yang sulit dijangkau, kenaikan harga minyak tanah dan kesulitan mendapatkan gas membuat ketergantungan terhadap hutan sebagai pemasok kayu bakar semakin meningkat.Kemiskinan dan minimnya informasi membuat mereka sulit mengembangkan kemampuan untuk berupaya memanfaatkan kotoran sapi yang ada di sepanjang jalan desa, menjadi sumber gas yang kaya manfaat. Berikut, cerita lapangannya.

Abdul Mugis, demikian nama lengkap laki-laki yang berasal dari Kampung Mengkuang Kecil, Dusun Laman Panjang Kecamatan Batin Tiga Ulu.Sudah tiga hari, Mugis mengikuti praktek lapang instalasi biogas dalam upaya pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal yang dilakukan KKI Warsi. Mengenakan celana dasar berwarna hitam dan baju kaos biru, dia tampak mencolok diantara yang lainnya. Bukan karena busana yang dikenakannya, Mugis sangat antusias dengan berbagai pertanyaan yang diajukannya. Tampaknya dia masih penasaran dengan materi-materi instalasi biogas yang dijelaskan. Meski sehari sebelumnya praktek serupa sudah diberikan di rumah nya, namun dia terus menggali informasi lebih banyak lagi terkait dengan instalasi biogas tersebut. Ketertarikannya terhadap biogas ini bermula pada kerepotannya untuk menyediakan kayu bakar untuk memasak.

Setiap minggunya, Mugis sekeluarga setidaknya membutuhkan 4 ambung kayu bakar (1 ambung berisi 30 kilo gram) ini berarti setara 120 kilo gram kayu bakar. Bapak tiga putri ini, mengaku kesulitan mencari kayu bakar ini, membuatnya sering cekcok dengan istrinya. Bayangkan saja, untuk mendapatkan kayu bakar itu, dia harus berjalan 20 kilo meter dari rumahnya, belum lagi kalau harus membeli satu ambung saja harus mengeluarkan uang seharga Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Selain menggunakan kayu, Mugis juga pernah menggunakan minyak tanah dan gas. Namun lagi-lagi, dia harus merogoh kocek yang lebih dalam. Jika menggunakan gas, dia minimal harus memberi dua tabung gas ukuran tiga kilo gram setiap bulannya. Biayanya akan semakin mahal jika dia menggunakan minyak tanah, selama satu bulan Mugis harus membayar Rp 600.000 untuk 60 liter minyak tanah.

Sang Pahlawan Lingkungan

Kondisi ini membuat Mugis belajar dari pengalaman salah seorang warga di dusun tetangganya, tepat di Dusun Senamat Ulu. Pada Muhammad Razi (41), salah seorang pionir penggunaan instalasi biogas sederhana dari kotoran sapi di Jambi ini lah Mugis terinspirasi. Sejak enam bulan lalu Razi sudah menggunakan biogas untuk keperluan memasaknya. Jangan berpikir, bahwa keluarga ini memiliki sapi dan kerbau. Meski tidak memiliki sapi dan kerbau, tak menyurutkan keinginannnya untuk membuat biogas. Kotoran ternak ini sangat mudah didapatnya, karena sistem perternakan di daerah ini dengan sistem peternakan lepas. Alhasil, kotoran hewan dimana-mana. Setiap sore ayah dua orang anak ini cukup membawa sebuah sekop dan bekas ember cat berkeliling di desanya untuk mengambil kotoran-kotoran hewan mamalia ini. Pada awalnya banyak sindiran dan cibiran dari para tetangganya, namun ini sebanding dengan manfaat yang didapatnya. Selain gas untuk memasak, sisa kotoran sapi dan kerbau yang sudah diambil gas nya (slurry) dapat dijadikan pupuk organik bagi kebun sayur dan karetnya.

“Dengan pupuk organik tersebut, terlihat perbedaan antara sayur-sayuran yang diberikan dan yang tidak. Tanaman dengan pupuk organik terlihat lebih subur,” ujarnya ketika meninjau kebun sayur miliknya.

Teknik pengembangan biogas ini sudah ada sejak tahun 1970, namun mulai berkembang di awal 2006. Namun selama ini instalasi biogas masih berupa denplot-denplot pemerintah. Hamdani Alwi, Specialist Kelembagaan KKI Warsi telah berupaya mengembangkan biogas ini sejak tahun 2005, namun dengan tipe dan volume yang berbeda. Kontruksi digester biogasnya yang dikembangkannya pada awalnya terbuat dari semen dan dengan volume berskala besar. Kepraktisan, merupakan satu-satunya kata kunci, yang membuat alumni Universitas Syiah Kuala ini berpikir memoditifikasi pembuatan biogas menjadi mudah, murah dan mampu dilakukan masyarakat di pedesaan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Setidaknya ada lebih dari 100 buah instalasi biogas dengan tipe dan volume yang berbeda yang telah dibuatnya.

Merubah paradigma masyarakat terhadap kotoran adalah sesuatu yang menjijikkan, menjadi kaya manfaat adalah dengan cara membuktikannya. Hamdani menyebutkan masyarakat memang harus diberi pemahamam yang banyak terkait biogas inI, apalagi biogas bukan hanya sekedar energi alternatif tapi limbahnya dapat dijadikan pupuk. Cukup dengan menyediakan kotoran sapi atau kerbau sebanyak 20 kilo gram untuk satu keluarga yang dibiarkan sampai 15-21 hari. Sudah bisa menghasilkan gas. Untuk pemakaian selanjutnya, kita hanya perlu menambahkan kotoran yang diberi sedikit air sebanyak setengah hingga satu ember perhari.

Pupuk organik sisa limbah biogas (Slurry) ini, disebutkan Hamdani mengandung mikroba-mikroba yang penting bagi tanah, sekaligus bersifat sebagai dekomposer yang dapat menjadi bakteri baik untuk menghancurkan bahan-bahan organik menjadi zat yang bisa diterima tanaman.Selain itu slurry juga melancarkan sirkulasi oksigen dalam tanah, dan mengembalikan kesuburan tanah.

Upaya Mitigasi Perubahan Iklim

Guna mendorong pengembangan penggunaan energi terbarukan (green ekonomi) di tingkat komunitas, KKI Warsi menyelenggarakan Praktek instalasi biogas di tiga Kabupaten di Provinsi Jambi. Praktek lapang ini berlangsung di lima desa, di Kecamatan Bathin Tiga Ulu Kabupaten Muaro Bungo, satu desa di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun dan satu desa di Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Praktek lapang ini dilaksanakan dengan mengandalkan potensi lokal yang tersedia.

EmmyPrimadona, selaku koordinator kegiatan menyebutkan, diharapkan kegiatan ini menambah pengetahuan masyarakat dalam memahami pemanfaatan energi alternatif yang ramah lingkungan sekaligus upaya strategis mitigasi perubahan iklim.

“Biogas menjadi sebuah solusi dari kesulitan energi masyarakat, serta sebagai pemacu masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan. Karena selama ini, kotoran sapi dan kerbau menyebabkan polusi udara, dan menimbulkan berbagai penyakit yang disebarkan lalat karena kotoran yang berserak. Dengan adanya pelatihan pembuatan instalasi biogas yang mudah, murah dan mampu dikerjakan masyarakat. Kita berharap aka perubahan paradigma ditingkat masyarakat, khususnya pemilik ternak untuk mengandangkan hewan peliharaan mereka,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Emmy juga menambahkan berdasarkan laporan FAO. 2006 bahwa sektor peternakan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang besarnya kurang lebih 18 persen. Kotoran ternak merupakan penghasil gas metana (CH4) yang sama bahayanya dengan Karbon dioksida, melekul panas yang dihasilkan oleh gas metana menyebabkan berlubangnya lapisan ozon dan berkontribusi padapemanasan global. Dengan kegiatan praktek lapang ini juga mengajak peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim baik , dimana dengan adanya stasiun biogas di rumah masyarkat maka akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada hutan sebagai sumber bahan bakar, juga mengurangi jumlah gas metana yang di lepaskan ke udara. (Elviza Diana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline