Lihat ke Halaman Asli

Perang Melawan Sabu di Samarinda: Urgensi Kolaborasi untuk Menyelamatkan Generasi Muda

Diperbarui: 3 November 2024   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : mistar.id

Pengeredaran sabu di Samarinda menjadi isu yang semakin mendesak dan serius, mengingat dampaknya yang sangat merusak bagi masyarakat, terutama generasi muda. Sabu, sebagai salah satu jenis narkoba yang paling berbahaya dan adiktif, memiliki dampak jangka panjang yang luas. Selain menyebabkan kerusakan pada kesehatan mental dan fisik, sabu juga berdampak negatif pada aspek sosial dan ekonomi. Sayangnya, peredaran narkoba, khususnya sabu, tidak hanya terjadi di perkotaan besar, tetapi juga telah menyebar ke daerah-daerah seperti Samarinda, yang kini menghadapi tantangan serius dalam menangani persoalan ini.

Pertama, perlu dipahami bahwa peredaran narkoba seperti sabu memiliki mekanisme yang terstruktur dan didukung oleh jaringan yang luas. Pengedar dan bandar narkoba memanfaatkan kerentanan sosial, seperti kemiskinan dan pengangguran, untuk merekrut anggota baru dalam jaringan mereka, baik sebagai pengguna maupun sebagai kurir. Di Samarinda, hal ini menjadi lebih kompleks karena adanya kelompok atau jaringan yang bekerja secara terorganisir, membuat akses terhadap narkoba menjadi lebih mudah dan memperparah peredaran di masyarakat. Permintaan yang tinggi serta potensi keuntungan besar yang bisa diperoleh dari bisnis ini menjadi daya tarik yang kuat bagi mereka yang mencari jalan pintas untuk memperoleh penghasilan.

Dampak dari peredaran sabu tidak hanya merusak individu yang mengonsumsinya, tetapi juga berdampak pada keluarga dan lingkungan sekitar. Pecandu sabu sering kali mengalami perubahan perilaku drastis, seperti menjadi agresif, kehilangan produktivitas, dan mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini memicu konflik dalam keluarga, serta meningkatkan angka kekerasan domestik dan kriminalitas di lingkungan masyarakat. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang terpapar narkoba juga rentan terhadap pengaruh negatif, sehingga siklus penyalahgunaan narkoba cenderung terus berulang dari generasi ke generasi. Sementara itu, pemerintah juga harus menanggung beban biaya kesehatan yang tinggi untuk rehabilitasi pecandu narkoba, yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan kesehatan masyarakat lainnya.

Upaya untuk memutus rantai peredaran sabu di Samarinda perlu dilakukan melalui pendekatan yang komprehensif, melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pertama, peningkatan edukasi dan sosialisasi terkait bahaya narkoba di tingkat sekolah dan komunitas menjadi langkah yang sangat penting. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk meningkatkan pemahaman tentang risiko penggunaan narkoba dan dampaknya terhadap masa depan generasi muda. Kampanye anti-narkoba yang berkelanjutan dan partisipasi aktif dari tokoh masyarakat atau figur publik dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.

Selain itu, diperlukan peningkatan pengawasan di titik-titik rawan, seperti pelabuhan atau jalur distribusi, untuk meminimalkan masuknya narkoba dari luar. Aparat penegak hukum harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak berwenang lainnya untuk melakukan operasi gabungan, terutama di wilayah-wilayah yang dianggap rawan sebagai jalur peredaran narkoba. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku peredaran sabu harus menjadi prioritas. Tidak hanya pelaku langsung, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan distribusi narkoba, perlu dihukum dengan setimpal agar menimbulkan efek jera.

Di sisi lain, pendekatan yang lebih humanis dalam penanganan pecandu narkoba juga perlu diperhatikan. Rehabilitasi pecandu harus dilakukan dengan serius agar mereka bisa kembali produktif dan tidak kembali ke lingkungan yang sama. Program rehabilitasi yang efektif, dukungan psikologis, dan pelatihan kerja bagi mantan pecandu dapat membantu mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Pemerintah daerah, bersama lembaga swadaya masyarakat, dapat membentuk pusat rehabilitasi yang lebih mudah diakses dan program reintegrasi bagi pecandu yang telah pulih. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat dan tidak kembali pada kebiasaan lama.

Peran keluarga dan lingkungan sosial juga tak kalah penting dalam mencegah penyebaran sabu. Keluarga sebagai lingkungan pertama memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak agar tidak terjebak dalam lingkaran narkoba. Orang tua perlu lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan lebih proaktif dalam memberikan edukasi terkait bahaya narkoba. Selain itu, komunitas lokal juga dapat berperan sebagai "mata dan telinga" dalam mengawasi peredaran narkoba di lingkungan sekitar, serta aktif melaporkan kepada pihak berwenang jika terdapat aktivitas mencurigakan.

Diharapkan dengan adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, peredaran sabu di Samarinda dapat ditekan dan akhirnya dihentikan. Masyarakat yang sadar akan bahaya narkoba dan mendukung program pencegahan serta rehabilitasi dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman, sehat, dan produktif. Pengeradaran sabu bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial yang harus ditangani dengan pendekatan multidimensi. Hanya dengan kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat, kita bisa menutup celah peredaran narkoba dan melindungi generasi muda dari bahaya narkoba yang dapat menghancurkan masa depan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline