Heran juga saya dengan orang yang mengaku belum menentukan pilihan Capresnya di 17 April 2019 ini. Padahal, waktu pemilihan semakin dekat. Dan keheranan saya semakin bertambah, tatkala yang mengaku belum punya pilihan Capres itu orang yang dianggap terpelajar selama ini.
Saat saya ditanya tentang Capres yang harus dipilih, atau ada yang ngaku belum menentukan pilihan di beberapa Group WhatsApp (GWA), saya selalu mengutip dan menyampaikan ayat ini:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur" (QS An-Nahl: 78).
Dengan ayat di atas saya ingin mengingatkan betapa pentingnya kita peduli, atau sedikit peduli, kalau memang tidak mungkin kita disebut seorang pengamat tentang kondisi bangsa ini.
Saya khawatir, gamangnya kita menentukan Capres yang cuma dua orang ini, menunjukkan kita sebagai umat Islam memang tidak peduli dengan persoalan bangsa (baca: kepemimpinan).
Kekhawatiran saya itu tentu berdasar, karena banyak orang Islam yang seharusnya antusias terhadap isu politik dimusim politik ini, justru alergi dan bahkan menolak membahas politik.
Padahal, masa depan suatu bangsa dan kehidupannya sendiri, bahkan kondisi agamanya akan sangat ditentukan oleh perpolitikan yang terjadi di negerinya.
Mohmammad Natsir, seorang ulama, politisi, dan pejuang Indonesia pernah berucap: "Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya". Musuh Islam saja sadar politik itu penting, maka apabila umat Islam cerdas dalam politik, dan berpolitik untuk kepentingan Islam, akan sangat ditakuti.
Mantan perdana menteri Turki yang juga guru Erdogan, Necbettin Erbakan, pernah berkata, "Muslim yang tak peduli politik akan dipimpin oleh politikus yang tidak peduli Islam". Kalau politikus yang tidak peduli Islam yang memimpin, berkuasa, apa lagi yang kita harapkan? Tidakkah letak kemuliaan kita selama ini ada pada Islam?
"Buta yang terburuk merupakan buta politik. Ia tidak mendengar, tidak berdialog, dan juga tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Ia tidak mengetahui kalau pengeluaran hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, pengeluaran sewa, harga sepatu dan juga obat, dan lain-lain seluruhnya bergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sampai-sampai dia bangga dan membusungkan dadanya berkata kalau dia membenci politik.
Sang dungu ini tidak mengetahui kalau dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan juga pencuri terburuk dari seluruh pencuri, politisi kurang baik, rusaknya industri nasional dan juga multinasinal." Demikian seorang penyair Jerman, Bertolt Brecht, mengingatkan.