Ungkapan kalimat ini mungkin sudah sering kita dengar dan tidak asing bagi kita, bahwa orang yang tepat seharusnya berada di tempat yang tepat. Namun kenyataannya yang kita temui banyak yang tidak sesuai dengan kaidah seperti itu. Masih saja ada unsur nepotisme, kolusi atau transaksi lainnya yang memungkinkan keadaan seperti tersebut terjadi. Ini adalah persoalan budaya akibat mental sebagian bangsa kita terutama para pemimpinnya tidak mau mengerti dan tidak mau peduli dengan demokrasi sesungguhnya. Masih saja ada feodalisme yang didasari kepentingan dan memanfaatkan aji mumpung. Padahal hal seperti itu akan merusak demokrasi yang sudah ada dan berpotensi akan terjadi hal selanjutnya apakah itu korupsi dan sebagainya.
Pemerintahan masih dianggap seperti perusahaan atau lebih parah lagi seperti warisan nenek moyangnya. Bisa kita bayangkan apa jadinya negeri ini sekiranya fenomena seperti ini yang terjadi, walaupun sesungguhnya hal ini memang terjadi. Dari segi demokrasi berarti sudah dicederainya, karena demokrasi adalah kepercayaan yang diberikan rakyat yang tidak boleh diperlakukan seperti itu, sebab dalam demokrasi ada sistem dan juga etika yang berlaku untuk dijunjung tinggi.
Itulah bukti bahwa transformasi budaya bangsa kita belum sampai pada titik sebenarnya. Padahal reformasi yang kita tuntut di tahun 1998 itu adalah jalan untuk dapat mentransformasi budaya bangsa kita. Ada banyak budaya yang harus ditransformasi dan terhadap hal seperti ini adalah juga tidak kalah pentingnya, karena ini adalah masalah manusianya bukan produk yang akan dihasilkannya. Dan kita tidak mungkin bisa berharap terjadinya transformasi di bangsa kita, sementara orang-orang dipemerintahannya belum bertransformasi dan masih tetap dengan budaya feodal, padahal feodalisme adalah musuh demokrasi. Demokrasi adalah pilihan kita, maka kita harus konsisten dengan pilihan tersebut.
Fenomena seperti ini banyak sekali terjadi, lebih-lebih di daerah-daerah dan hal itu seperti tidak tabu bagi mereka. Padahal kita tahu bahwa hal-hal seperti inilah yang banyak menyebabkan terjadinya praktek-praktek tidak terpuji dalam sistem kekuasaan pemerintahan. Seharusnya ada badan atau komite yang akan mengawasi hal ini, karena mereka merasa tidak melakukan kesalahan berdasarkan perundangan dan ketentuan yang ada dan menganggap tidak ada larangan seperti itu. Sungguhpun tidak ada perundangan atau ketentuan yang mengatur tentang itu, namun sesungguhnya ada etika yang tidak mugkin segala sesuatunya dibuat secara tertulis, karena manusia bukanlah robot yang segala sesuatunya terlebih dulu harus terprogram.
Etika adalah masalah mental seseorang yang berhubungan dengan nilai-nilai, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai demokrasi. Namun sesungguhnya hukum tak tertulis atau dalam bentuk nilai-nilai tersebut sama kuatnya dengan hukum yang tertulis. Justru hukum yang tertulis itu dibuat untuk memperjelas hukum yang tidak tertulis, bukankah hukum-hukum yang ada tersebut berdasar dan bersumber dari nilai-nilai, namun dengan begitu bukan berarti nilai-nilai atau hukum yang tidak tertulis tersebut bisa kita abaikan begitu saja sehingga kita hanya berpatokan dengan hukum ketentuan yang tertulis saja. Kalau begitu apa jadinya kehidupan ini jika kita semua hanya berpedoman pada ketentuan yang tertulis belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H