Lihat ke Halaman Asli

Mengharapkan Keadilan, Hukum Mulai Dipertanyakan, LPSK Harus Lebih Optimal

Diperbarui: 20 November 2018   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekitar 2 tahun lalu, warga di sekitar kampung saya sangat heboh dengan peristiwa yang menimpa anak perempuan dari salah satu warga kampung saya. Namanya Lastri. Usianya waktu itu masih 12 tahun, masih duduk di bangku SMP saat kejadian itu terjadi. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebelah rumah saya. Setiap hari datang jam 7 pagi, menyelesaikan pekerjaannya seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Setelah selesai, dia tetap harus menjaga balita majikannya hingga majikannya pulang dan mengantarkannya kembali ke rumah sore harinya. 

Mungkin karena lelah, dia pun menyerahkan urusan pekerjaannya pada anak perempuannya, Lastri yang masih di bawah umur. Waktu itu, salah seorang warga kami mendengar suara jeritan perempuan dari rumah tersebut. Setelah didekati, seorang warga melihat Lastri sedang terbaring sambil merintih kesakitan dengan dukun beranak di sampingnya. 

Warga tersebut pun merasa marah melihat kejadian ini. Apalagi di usia yang masih di bawah umur, Lastri dipaksa melakukan aborsi oleh pihak yang tidak mau bertanggungjawab. Warga tersebut pun memberitahu kejadian ini kepada ibu Lastri. Tak lama kemudian, beritanya pun menyebar luas di kampung kami. Hal ini bukan pertama kalinya menimpa keluarga ibu tersebut. 

Sebelumnya kakaknya Lastri juga dihamili oleh majikannya tersebut. Menolak bertanggung jawab, lalu pelaku mendorong pacar kakaknya Lastri untuk menikahinya secepatnya dengan biaya pernikahan ditanggung oleh pelaku. Entah mengapa sang ibu sama sekali tidak waspada terhadap kemungkinan hal yang sama akan terjadi pada putri keduanya.

Warga setempat pun mendorong sang ibu untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib. Namun, si pelaku dan keluarganya berusaha membujuk untuk berdamai dan memberikan ganti rugi. Sang ibu pun menolak dan warga turut mendukungnya. Tapi, prosesnya memakan waktu lama. Mungkin karena status sosial korban termasuk keluarga yang kurang mampu. Bisa dibilang proses hukum di daerah kami tidak akan berjalan tanpa adanya uang. Jika tidak diberikan uang untuk menangkap pelaku, maka polisi tidak akan bertindak. Bahkan lembaga perlindungan anak di bawah umur pun ikut mendukung memproses kasus ini. 

Awalnya korban mengatakan bahwa yang melakukannya itu saudara pelaku yang tinggal di rumahnya. Namun, setelah diteliti lagi, akhirnya korban mengatakan yang sebenarnya. Korban merasa takut mengatakannya karena dia diancam akan dibunuh.

Merasa terdesak, pelaku melarikan diri dan bersembunyi entah ke mana. Keesokan harinya, terdengarlah kabar bahwa Lastri sudah diculik dari sekolahnya. Bukan hanya keluarga korban yang panik, tetapi warga setempat juga. Berbagai upaya dilakukan warga untuk mencari tahu keberadaan pelaku. Mengintai-intai rumahnya, rumah ibunya, atau mendatangi tempat yang biasa didatangi pelaku. Hingga mengancam istri pelaku bahwa warga akan membakar rumah mereka jika dia tidak  memberitahu keberadaan suaminya. 

Warga tahu bahwa istrinya tahu keberadaan pelaku dari informasi pembantu yang bekerja di rumahnya. Waktu itu pembantunya melihat bahwa sang istri mengemasi pakaian suaminya ke dalam koper dan pergi. Sang ibu pun datang  memohon kepadanya sambil menangis  agar suaminya segera memulangkan Lastri ke rumah. Namun, tetap saja tidak berhasil. Setiap kali polisi mengetahui keberadaan pelaku dan mengejarnya, selalu saja pelaku berhasil kabur. Warga pun curiga bahwa pelaku sudah memberi uang suap agar bisa lolos. Tidak masuk akal, bahwa sulit sekali menangkapnya. Beberapa minggu kemudian muncul SMS kepada keluarga korban untuk berdamai, kalau tidak Lastri tidak akan pernah pulang selamanya atau bahkan akan dibunuh.

Sudah dua tahun berlalu, namun Lastri masih belum kembali ke rumah. Tidak ada yang tahu, entah dia masih hidup atau sudah meninggal. Pelaku pun masih berkeliaran. Entah kasusnya sudah dilupakan atau tidak. Tinggallah sang ayah yang masih menantikan putrinya kembali. 

Ancaman dan tekanan memang masih menjadi masalah utama dalam pelaporan tindakan  kriminal. Bisa dikatakan warga di kampung saya belum mengenal adanya lembaga yang menjamin perlindungan terhadap saksi dan korban. Harapan saya ke depannya adalah agar LPSK lebih mensosialisasikan diri agar lebih dikenal oleh masyarakat, termasuk untuk daerah terpencil. Tentunya di era kepemimpinan 2018-2023, peran LPSK di bidang peradilan semakin kuat dan lebih optimal sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline